Tanggalkanlah Kasutmu
Mendesak perpisahan dengan dunia penyembahan berhala yang mengelilingi mereka. Mereka harus suci, memisahkan diri dari dunia, sebelum mereka dapat mendekati Allah dalam ibadah (Ezra 9;10; Nehemia 13).
Orang-orang bijaksana (Majus) dalam Matius 2 dipimpin dari tanah air mereka di Timur oleh sebuah bintang. Mereka meninggalkan rumah dan keluarga mereka dan berjalan bermil-mil melewati padang gurun, dan dalam negara yang asing bagi mereka untuk menemukan seseorang yang mereka ingin sembah. Paling tidak untuk sementara mereka harus meninggalkan di belakang: kesenangan, dan kenyamanan rumah mereka untuk mencari suka cita yang lebih besar dan upah yang kekal dengan menyembah Tuhan langit dan bumi.
Ketika Yesus menginginkan kebersamaan dengan Bapa, Dia pergi menyendiri (Matius 14:23; Markus 6:46; Lukas 6:12). Dia geram kepada orang-orang yang membawa bisnis mereka ke dalam Bait Allah (Matius 21:12). Dia menegur orang-orang yang memberikan sedekah atau berdoa dengan cara agar kelihatan baik kepada orang-orang di jalan. Dia memerintahkan mereka agar memberi dan berdoa di tempat tersembunyi (Matius 6:1-6). Apakah “masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu” mengindikasikan perpisahan dari dunia? Oleh karena kita harus “keluar” dari dunia, kita harus mengesampingkan perhatian-perhatian duniawi, ketika kita mendekat kehadirat Allah.
Tentu saja kita harus hidup di dunia. Allah menginginkan agar kita “bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia” (Filipi 2:15). Misi Kristiani kita adalah di dalam dunia (Markus 16:15). Kita tidak dapat memenuhi misi tersebut tanpa menjalin hubungan dengan orang-orang di dunia ini (1 Korintus 5:10). Untuk melepaskan diri “dari dalam dunia” berarti kita harus pergi ke luar dari dunia, kalau ini kita lakukan maka terang kita tidak dapat bersinar di hadapan orang lain. Tetapi ketika kita datang ke hadirat Allah untuk beribadah, kita harus meninggalkan dunia ini di belakang kita, beribadah berarti mundur dari dunia.
Di dalam dunia ini mungkin kita ditentang oleh karena iman kita atau diejek oleh karena kita berbeda. Kita mungkin diasingkan dari keluarga. Hubungan kita mungkin menjadi tegang. Kita mungkin dikira orang bodoh. Bagi orang Kristen, dunia ini adalah zona peperangan. Saya yakin bahwa oleh karena alasan inilah Allah menginginkan agar umatNya berhimpun bersama (Ibrani 10:25). Perhimpunan ibadah haruslah menjadi tempat berlindung yang aman dari dunia ini. Tempat beristirahat dari badai, saat untuk mengumpulkan kekuatan dan memberi makan jiwa yang lapar. Kebaktian adalah saat menghibur, kesempatan untuk menyembuhkan luka-luka dan menghapus air mata. Kebaktian adalah saat untuk mendengarkan Allah, mendengarkan kembali janji-janji dan perintah-perintahNya. Itu adalah saat untuk mengakui kelemahan kita serta pekerjaan iman kita. Perhimpunan menyediakan waktu untuk memberi semangat yang tidak dapat diberikan oleh dunia, saat untuk “kelegaan” di hadapan Tuhan (Kisah Rasul 3:19).
Manakala keduniawian menyerbu gereja, salah satu efek pertama yang kelihatan adalah di dalam kebaktian. Kebaktian dapat menjadi menyerupai konser atau rapat politik. Dalam usaha untuk menjadi relevan dan mencari kesamaan dengan dunia, pemimpin-pemimpin gereja seringkali mengizinkan jajak pendapat di antara “orang-orang yang bukan anggota jemaat” di masyarakat untuk menentukan agenda acara kebaktian. David Wells dengan benar mengamati bahwa “iman Kristen yang dijadikan relevan kepada dunia akan menjadi iman yang tidak lagi relevan kepada Allah, Kristus, dan kebenaran …”
Demi hubungan dengan dunia, banyak orang yang mencoba mencampurkan iman Kristiani dengan pandangan dunia. Mereka mencoba menjadikan iman lebih populer dan enak, terlalu banyak kehendak Allah yang dihilangkan dalam proses pencampuran ini. Kita mungkin berpikir bahwa strategi penginjilan yang terbaik adalah untuk menemui orang-orang di tempat mereka supaya kita dapat membimbing mereka ke tempat yang dikehendaki oleh Allah. Kelihatannya seperti yang dimaksudkan Paulus dengan menjadi “segala-galanya supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka” (1 Korintus 9:22). Tetapi, Paulus pastilah tidak bermaksud bahwa kebaktian harus lebih kelihatan seperti dunia untuk menarik orang-orang di dalam dunia. Mencoba untuk mendekati Allah dalam konteks duniawi mungkin membuat kita merasa baik dan menikmati diri sendiri, tetapi fokus seperti ini dapat menyebabkan kita kehilangan makna peribadatan. Jika kebaktian adalah suatu pernyataan kepada dunia, pernyataan tersebut haruslah setia kepada Allah. Kita tidak mau bersikap tidak sensitif atau tidak relevan kepada dunia yang sangat memerlukan Allah, tetapi keinginan kita yang utama haruslah mematuhi suara Allah.
Memasuki kebaktian untuk menghormati Allah, bukan untuk mencari hiburan
Suatu tendensi yang berkembang dewasa ini adalah memandang orang-orang yang beribadah sebagai konsumen. Orang-orang bisnis mempunyai dua pendekatan untuk meningkatkan bisnis mereka. Pertama adalah meyakinkan konsumen bahwa mereka membutuhkan produk yang ditawarkan, kedua, mencari tahu apa yang diinginkan oleh konsumen, dan memproduksinya untuk mereka. Dalam dua dekade terakhir ini dunia bisnis telah menekankan pendekatan yang kedua ini. Produsen yang memproduksi apa yang diinginkan oleh umum dipastikan dapat menarik konsumen. Dunia keagamaan telah mengadopsi prinsip ini dari dunia bisnis. Jika agama di pandang sebagai sebuah produk yang akan dikonsumsi, maka itu adalah pendekatan yang masuk akal paling tidak dari sudut pandang dunia bisnis yaitu mencari tahu apa yang diinginkan oleh publik di bidang agama kemudian menyediakannya bagi mereka.
“Produk” yang paling cepat dikonsumsi yang dapat ditawarkan oleh agama adalah kebaktian. Apakah publik benar-benar menginginkan kebaktian? Apa yang mereka inginkan adalah sesuatu yang menarik bagi mereka, tidak membosankan. Mereka ingin perhimpunan ibadah menjadi menggairahkan, nikmat dan menghibur. Secara kasar, publik menuntut agar kebaktian itu adalah waktu untuk bersenang-senang. Bagi mereka yang membiasakan diri dengan Allah dan ingin berada di hadiratNya, kebaktian itu menyenangkan, memberi semangat dan bermanfaat tanpa ada pengaturan khusus untuk menjadikan kebaktian itu suatu hiburan. Kebaktian yang menyenangkan tidak bertentangan dengan tujuan kebaktian. Tetapi apakah itu berarti kita dibenarkan untuk menjadikan kebaktian itu sebagai hiburan setiap minggu untuk memuaskan selera konsumen yang tidak membiasakan diri dengan Allah?
Jika ada tempat dan waktu bagi umat Allah untuk menyatakan dengan jelas bahwa kita “bukanlah dari dunia” (Yohanes 17,14,16) pastilah itu diperhimpunan ibadah. Perhimpunan adalah “tanah yang suci.” Secara simbolis, kita harus melepaskan kasut kita ketika kita melangkah keluar dari dunia ke dalam perhimpunan ibadah. Kita harus meninggalkan kekotoran duniawi di belakang ketika kita melangkah ke hadirat Allah. (adaptasi).
Orang-orang bijaksana (Majus) dalam Matius 2 dipimpin dari tanah air mereka di Timur oleh sebuah bintang. Mereka meninggalkan rumah dan keluarga mereka dan berjalan bermil-mil melewati padang gurun, dan dalam negara yang asing bagi mereka untuk menemukan seseorang yang mereka ingin sembah. Paling tidak untuk sementara mereka harus meninggalkan di belakang: kesenangan, dan kenyamanan rumah mereka untuk mencari suka cita yang lebih besar dan upah yang kekal dengan menyembah Tuhan langit dan bumi.
Ketika Yesus menginginkan kebersamaan dengan Bapa, Dia pergi menyendiri (Matius 14:23; Markus 6:46; Lukas 6:12). Dia geram kepada orang-orang yang membawa bisnis mereka ke dalam Bait Allah (Matius 21:12). Dia menegur orang-orang yang memberikan sedekah atau berdoa dengan cara agar kelihatan baik kepada orang-orang di jalan. Dia memerintahkan mereka agar memberi dan berdoa di tempat tersembunyi (Matius 6:1-6). Apakah “masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu dan berdoalah kepada Bapamu” mengindikasikan perpisahan dari dunia? Oleh karena kita harus “keluar” dari dunia, kita harus mengesampingkan perhatian-perhatian duniawi, ketika kita mendekat kehadirat Allah.
Tentu saja kita harus hidup di dunia. Allah menginginkan agar kita “bercahaya di antara mereka seperti bintang-bintang di dunia” (Filipi 2:15). Misi Kristiani kita adalah di dalam dunia (Markus 16:15). Kita tidak dapat memenuhi misi tersebut tanpa menjalin hubungan dengan orang-orang di dunia ini (1 Korintus 5:10). Untuk melepaskan diri “dari dalam dunia” berarti kita harus pergi ke luar dari dunia, kalau ini kita lakukan maka terang kita tidak dapat bersinar di hadapan orang lain. Tetapi ketika kita datang ke hadirat Allah untuk beribadah, kita harus meninggalkan dunia ini di belakang kita, beribadah berarti mundur dari dunia.
Di dalam dunia ini mungkin kita ditentang oleh karena iman kita atau diejek oleh karena kita berbeda. Kita mungkin diasingkan dari keluarga. Hubungan kita mungkin menjadi tegang. Kita mungkin dikira orang bodoh. Bagi orang Kristen, dunia ini adalah zona peperangan. Saya yakin bahwa oleh karena alasan inilah Allah menginginkan agar umatNya berhimpun bersama (Ibrani 10:25). Perhimpunan ibadah haruslah menjadi tempat berlindung yang aman dari dunia ini. Tempat beristirahat dari badai, saat untuk mengumpulkan kekuatan dan memberi makan jiwa yang lapar. Kebaktian adalah saat menghibur, kesempatan untuk menyembuhkan luka-luka dan menghapus air mata. Kebaktian adalah saat untuk mendengarkan Allah, mendengarkan kembali janji-janji dan perintah-perintahNya. Itu adalah saat untuk mengakui kelemahan kita serta pekerjaan iman kita. Perhimpunan menyediakan waktu untuk memberi semangat yang tidak dapat diberikan oleh dunia, saat untuk “kelegaan” di hadapan Tuhan (Kisah Rasul 3:19).
Manakala keduniawian menyerbu gereja, salah satu efek pertama yang kelihatan adalah di dalam kebaktian. Kebaktian dapat menjadi menyerupai konser atau rapat politik. Dalam usaha untuk menjadi relevan dan mencari kesamaan dengan dunia, pemimpin-pemimpin gereja seringkali mengizinkan jajak pendapat di antara “orang-orang yang bukan anggota jemaat” di masyarakat untuk menentukan agenda acara kebaktian. David Wells dengan benar mengamati bahwa “iman Kristen yang dijadikan relevan kepada dunia akan menjadi iman yang tidak lagi relevan kepada Allah, Kristus, dan kebenaran …”
Demi hubungan dengan dunia, banyak orang yang mencoba mencampurkan iman Kristiani dengan pandangan dunia. Mereka mencoba menjadikan iman lebih populer dan enak, terlalu banyak kehendak Allah yang dihilangkan dalam proses pencampuran ini. Kita mungkin berpikir bahwa strategi penginjilan yang terbaik adalah untuk menemui orang-orang di tempat mereka supaya kita dapat membimbing mereka ke tempat yang dikehendaki oleh Allah. Kelihatannya seperti yang dimaksudkan Paulus dengan menjadi “segala-galanya supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka” (1 Korintus 9:22). Tetapi, Paulus pastilah tidak bermaksud bahwa kebaktian harus lebih kelihatan seperti dunia untuk menarik orang-orang di dalam dunia. Mencoba untuk mendekati Allah dalam konteks duniawi mungkin membuat kita merasa baik dan menikmati diri sendiri, tetapi fokus seperti ini dapat menyebabkan kita kehilangan makna peribadatan. Jika kebaktian adalah suatu pernyataan kepada dunia, pernyataan tersebut haruslah setia kepada Allah. Kita tidak mau bersikap tidak sensitif atau tidak relevan kepada dunia yang sangat memerlukan Allah, tetapi keinginan kita yang utama haruslah mematuhi suara Allah.
Memasuki kebaktian untuk menghormati Allah, bukan untuk mencari hiburan
Suatu tendensi yang berkembang dewasa ini adalah memandang orang-orang yang beribadah sebagai konsumen. Orang-orang bisnis mempunyai dua pendekatan untuk meningkatkan bisnis mereka. Pertama adalah meyakinkan konsumen bahwa mereka membutuhkan produk yang ditawarkan, kedua, mencari tahu apa yang diinginkan oleh konsumen, dan memproduksinya untuk mereka. Dalam dua dekade terakhir ini dunia bisnis telah menekankan pendekatan yang kedua ini. Produsen yang memproduksi apa yang diinginkan oleh umum dipastikan dapat menarik konsumen. Dunia keagamaan telah mengadopsi prinsip ini dari dunia bisnis. Jika agama di pandang sebagai sebuah produk yang akan dikonsumsi, maka itu adalah pendekatan yang masuk akal paling tidak dari sudut pandang dunia bisnis yaitu mencari tahu apa yang diinginkan oleh publik di bidang agama kemudian menyediakannya bagi mereka.
“Produk” yang paling cepat dikonsumsi yang dapat ditawarkan oleh agama adalah kebaktian. Apakah publik benar-benar menginginkan kebaktian? Apa yang mereka inginkan adalah sesuatu yang menarik bagi mereka, tidak membosankan. Mereka ingin perhimpunan ibadah menjadi menggairahkan, nikmat dan menghibur. Secara kasar, publik menuntut agar kebaktian itu adalah waktu untuk bersenang-senang. Bagi mereka yang membiasakan diri dengan Allah dan ingin berada di hadiratNya, kebaktian itu menyenangkan, memberi semangat dan bermanfaat tanpa ada pengaturan khusus untuk menjadikan kebaktian itu suatu hiburan. Kebaktian yang menyenangkan tidak bertentangan dengan tujuan kebaktian. Tetapi apakah itu berarti kita dibenarkan untuk menjadikan kebaktian itu sebagai hiburan setiap minggu untuk memuaskan selera konsumen yang tidak membiasakan diri dengan Allah?
Jika ada tempat dan waktu bagi umat Allah untuk menyatakan dengan jelas bahwa kita “bukanlah dari dunia” (Yohanes 17,14,16) pastilah itu diperhimpunan ibadah. Perhimpunan adalah “tanah yang suci.” Secara simbolis, kita harus melepaskan kasut kita ketika kita melangkah keluar dari dunia ke dalam perhimpunan ibadah. Kita harus meninggalkan kekotoran duniawi di belakang ketika kita melangkah ke hadirat Allah. (adaptasi).