Suami dan Ayah di Rumah

A da pepatah Batak mengatakan, “Magodang anak pangolihonon balga boru pamulihonon”, artinya: Kalau anak laki-laki sudah dewasa dikawinkan dan kalau anak perempuan sudah gadis dinikahkan. Adalah kebanggaan tersendiri bagi orang-tua menyaksikan anak-anaknya sampai kepada pernikahan. Lelaki yang sudah menikah (membentuk rumah tangga) sebutan yang diembannya dari isteri dalam keluarga itu adalah “suami”.

Setiap lelaki yang sudah menikah sangat bangga mendengar sebutan suami karena sebutan itu telah menunjukkan bahwa dirinya telah memiliki keluarga. Karena semua lelaki yang mendapat julukan suami memiliki tanggung jawab yang berhubungan dengan posisinya dalam keluarga. Disamping tanggung-jawab, si suami juga harus merubah penampilannya dari seorang bujangan menjadi seorang laki-laki sejati. Karena salah satu ciri khas suami adalah menjadi laki-laki sejati.

Suami Sebagai Laki-laki Sejati Bagi Sang Isteri

Seorang lelaki yang menjadi suami dalam sebuah keluarga tentu saja sikap dan tanggung-jawabnya juga harus handal. Lelaki sejati bukanlah diukur dari bentuk postur tubuh yang kekar melainkan dari sikap penampilannya, tetapi tidak salah juga kalau postur tubuhnya kekar, karena itu akan menunjukkan bagaimana ia dapat merawat tubuhnya menjadi tubuh yang atletis. Tetapi lelaki sejati yang kita bicarakan disini dibidik dari bagaimana suami itu hidup sebagai lelaki sejati dalam keluarganya yang baru (Kejadian 2:24,25) Lelaki akan bersatu dengan isterinya setelah mereka berdua meninggalkan orang-tua mereka.

Lelaki sejati tidak akan meninggalkan keluarganya demi orang-tuanya, tetapi justru sebaliknya. Lelaki sejati akan merasa bertanggung-jawab kepada isteri dan keluarganya. Lelaki sejati akan bertindak sebagai pelindung, guru dan penuntun serta pemimpin bagi isterinya. Sama seperti Abraham,

Ishak, dan Yakub yang selalu melindungi dan memperhatikan keluarganya. Lelaki sejati akan merindukan sang isteri apabila ia berada di luar rumah karena si isteri menginginkan kehadiran suaminya sebagai lelaki sejati di rumah. Lelaki sejati akan selalu mengajarkan isterinya untuk mengerti prioritas hidup yaitu rohani (Matius 6:33). Sebagai lelaki sejati suami harus menjadi motivator bagi isteri untuk mencintai hukum Tuhan (Mazmur 119:97). Isteri yang memiliki suami sebagai lelaki yang sejati akan senantiasa akan mempersiapkan dirinya untuk menyambut kepulangan sang suami. Isteri akan berusaha untuk mentaati segala saran dan dorongan serta perintah dari suami yang bertindak sebagai lelaki sejati, “Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan” (Kolose 3:18)

Robert Taylor Jr. mengatakan dalam bukunya Christ In the Home halaman 76, “Suami akan memanfaatkan kedewasaannya untuk memenuhi tanggung-jawab yang baru menjadi seorang penyedia kebutuhan rumah tangganya.” Dengan kualitas yang dimiliki seorang lelaki sejati yaitu suami, maka kita tidak akan ragu bahwa suami itu akan menjadi kepala dalam keluarga.

Suami Sebagai Kepala Dari Isteri

Perkawinan adalah institusi Illahi yang ditetapkan Allah bagi manusia yang hidup di bumi ini. Karena itu tidak logis jika manusia merubah apa yang telah ditetapkan oleh Sang Khalik. Karena Allah sendiri yang menetapkan institusi tersebut maka kita sebagai manusia ciptaan yang paling sempurna dari segala ciptaan harus taat kepada hukum perkawinan tersebut. Sebagai ciptaan Sang Khalik kita harus mengakui bahwa Allah tahu yang terbaik bagi manusia maka Allah mengatur hukum wewenang untuk manusia dalam Efesus 5:23,24. Suami adalah kepala isteri sama dengan Kristus adalah kepala jemaat. Kita tahu bahwa Allah mengetahui apa yang terbaik dan bagaimana membantu rumah tangga itu agar terhindar dari masalah-masalah yang fatal dengan menentukan suami sebagai kepala bukan isteri. Perlu juga kita sadari bahwa Allah mengetahui manusia akan berusaha merubah wewenang ini sehingga Allah membuat gambaran suami adalah kepala isteri sama dengan Kristus adalah Kepala gereja. Coba Saudara bayangkan kalau kita mengubah wewenang jemaat (gereja) menjadi kepala dan Kristus menjadi pengikut!. Hal ini tidak mungkin terjadi karena ini akan merusak sistim wewenang dalam jemaat itu, demikian halnya dengan keluarga, kalau isteri menjadi kepala berarti hal ini akan merusak sistim wewenang dalam keluarga.

Suami menjadi kepala isteri dalam keluarga bukan berarti suami memonopoli segala urusan dalam keluarga itu. Suami menjadi kepala isteri dalam keluarga bukan berarti isteri lebih rendah dari suami buktinya isteri dan suami adalah pasangan yang sepadan (Kejadian 2:18) Tuhan Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia."

Suami adalah kepala isteri berarti suami yang memegang kepemimpinan dalam keluarga itu. Bisa saja Allah sebenarnya membuat isteri sebagai kepala dalam keluarga tetapi Allah tidak melakukan itu karena Allah tahu bahwa hal itu akan menimbulkan masalah besar sama halnya keluarga raja Ahab di Israel. Sekalipun Ahab yang menjadi raja di Israel tetapi Izebel yang menjadi kepala Ahab, hal ini dapat kita lihat dalam 1 Raja-raja 21:1-24. Ketika kebun anggur Nabot diserobot Izebel. Bisa saja Allah tidak membuat tampuk kepemimpinan pada suami tetapi Allah maha-tahu bahwa hal itu akan membuat keluarga itu terombang-ambing karena tidak adanya seorang pemimpin untuk menjadi nahkoda bahtera rumah tangga itu. Maka dari itu kita tahu bahwa Allah menentukan kepemimpinan rumah tangga diserahkan kepada suami karena Allah tahu yang terbaik untuk manusia yang diciptakanNya itu.

Di dalam Perjanjian Lama ada beberapa contoh positif dan negatif yang dapat kita analisa, dan kita ikuti yang baik tetapi menjauhkan yang tidak baik dari suami-suami yang menjadi kepala dalam keluarga.

A. Adam sebagai kepala (pemimpin) keluarga disalahkan oleh Tuhan karena ia mendengarkan kata-kata isterinya Hawa yang melanggar firman Tuhan, kalau Adam benar-benar bertindak sebagai pemimpin bukan dipimpin ia tidak akan terpengaruh atas ajakan Hawa untuk memakan buah yang terlarang itu, karena Adam tahu bahwa itu melanggar hukum Allah. “Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminya-pun memakannya” (Kejadian 3:6).

B. Abraham mendengarkan perkataan Sara tentang pengusiran Hagar dan Ismael sekalipun itu menyebalkan hati Abraham namun Abraham mengikuti Sara karena saran Sara saat itu sesuai dengan Firman Tuhan. “Hal ini sangat menyebalkan Abraham oleh karena anaknya itu. Tetapi Allah berfirman kepada Abraham: "Janganlah sebal hatimu karena hal anak dan budakmu itu; dalam segala yang dikatakan Sara kepadamu, haruslah engkau mendengarkannya, sebab yang akan disebut keturunanmu ialah yang berasal dari Ishak” (Kejadian 21:11, 12). Dalam peristiwa ini kita dapat melihat seorang kepala (suami) harus membuat standard kepemimpinannya: Firman Tuhan, walaupun itu datangnya dari isteri dan dia sendiri tidak menyukai saran itu. Peristiwa Sara & Abraham adalah kebalikan dari peristiwa Adam dan Hawa dan Ahab dan Izebel.

* Sebagai orang Kristen kita tidak membutuhkan suami yang tidak menghormati perkawinan (Ibrani 13:4), karena suami yang suka menyeleweng adalah suami yang meniru cara hidup binatang yang tidak diikat oleh hukum perkawinan.

* Sebagai orang Kristen kita tidak membutuhkan suami yang memperlakukan isterinya sebagai budak. Ingat, isteri bukanlah budak, isteri dan suami memiliki kedudukan yang sama sebagai orang-tua anak-anak dalam keluarga. Suami yang mengganggap isteri sebagai budak adalah suami yang tidak mengerti arti kasih dalam Efesus 5:25 - “Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya” dan Kolose 3:1 - “Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.”

* Sebagai orang Kristen kita tidak membutuhkan suami yang mengekang isterinya dan tidak memberi kebebasan . Perlu kita sadari bahwa isteri adalah manusia. Hanya kuda yang boleh kita kekang. Suami dan isteri memiliki kebebasan yang sama dalam keluarga karena mereka adalah satu dan sepadan (Kejadian 2:8, 24).

* Sebagai orang Kristen kita tidak membutuhkan suami yang sering mengucapkan kata-kata cerai. Karena Tuhan sangat membenci perceraian (Maleakhi 2:16). Kita harus membenci apa yang dibenci oleh Allah, dan menyukai apa yang disukai Allah.

Setiap suami yang bertindak sebagai kepala isteri, ia akan mengasihi isterinya sebagai pasangan hidup yang telah dipilihnya sendiri dengan sadar tanpa paksaan dan telah dipersatukan Allah ketika keduanya mengucapkan ikrar perkawinan di hadapan hamba Tuhan serta disaksikan oleh keluarga, kerabat, dan saudara-saudara seiman bahwa mereka menjadi suami isteri berdasarkan cinta yang telah mereka ikrarkan sehingga mereka diikat oleh kasih Kristus menjadi satu (Markus 10:9). Setelah Allah mengaruniakan buah cinta kasih suami isteri maka julukan si suami akan bertambah satu dalam keluarga yaitu Ayah.

Ayah Dalam Keluarga

Seorang ayah dalam keluarga adalah seorang yang menjadi panutan bagi anak-anaknya. Sering sekali anak laki-laki kita berkata, ”Saya mau seperti Ayah.” “Saya mau pakai baju seperti baju Ayah.” Bahkan sering sekali anak kita mengatakan, ”Saya mau punya kantor seperti kantor ayah.” Dan fakta yang mendasar anak saya Bobby sering pakai sepatu saya, dasi saya, cangkir saya dll. Dan saya yakin bukan hanya Bobby yang melakukan seperti itu hampir semua anak-anak di rumah selalu berusaha hampir seperti Bobby. Pertanyaan bagi kita yang memiliki sebutan sebagai ayah, pernahkah kita menyadari hal ini? Sudah pantaskah kita dalam keadaan sekarang ini menjadi contoh bagi anak-anak kita? Perlukah kita meningkatkan kepribadian kita agar anak-anak kita mendapat teladan yang lebih baik dari kita? Bukankah kita menginginkan anak kita akan lebih baik dari kita? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas kita harus sadar ayah yang bagaimanakah saya ini? Kalau kita sudah tahu maka marilah kita memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup kita agar anak kita kelak menjadi generasi baru yang berkualitas. Bukan seperti Imam Eli dan Samuel dan generasi mereka (1 Samuel 1-8).

Marilah kita simak point-point berikut ini agar kita menjadi seorang ayah yang berkenan kepada Tuhan serta mempersiapkan generasi-generasi yang unggul.

Seorang Ayah Haruslah Bertindak Sebagai Seorang Guru Rohani

Setelah bangsa Israel keluar dari perbudakan Mesir, Allah memberikan hukum kepada setiap ayah untuk menjadi teladan dalam mempersiapkan generasi baru di tanah yang telah dijanjikan Allah kepada nenek moyang mereka Abraham yaitu tanah Kanaan yang sedang mereka tuju, (Ulangan 6:6-9). Tidak ada subyek yang paling baik untuk diajarkan kepada anak-anak selain firman Tuhan. Karena Tuhan sendiri yang memerintahkannya dan Tuhan sendiri tahu apa yang terbaik untuk anak-anak kita.

Agar seorang ayah dapat menjadi guru rohani kepada anak-anaknya otomatis si ayah harus memiliki pengetahuan tentang rohani, agar ia tidak memiliki kesulitan dalam mengajar anak-anaknya. Adalah kesalahan besar bagi seorang ayah yang mempercayakan pendidikan rohani anak-anaknya kepada guru Sekolah Minggu saja. Ayah yang harus mendidik anaknya dalam Firman Tuhan. Menurut pengalaman saya anak kita itu akan bersemangat kalau kita bersama-sama mengajarkan fakta-fakta Alkitab kepada anak kita yang masih berusia balita. Kita harus mengajarkan Firman Tuhan kepada anak-anak kita sedini mungkin (Yesaya 28:9).

Koran kompas hari Kamis 2 September 2004 di halaman 12 melaporkan tentang Jiang Yanyong menerima penghargaan Magsaysay karena berani. Dan anak Jiang Yanyong yang bernama Jiang Rui begitu bangga atas prestasi ayahnya itu yang merupakan guru baginya untuk berani menegakkan kebenaran demi keselamatan orang banyak dari bahaya SARS (Mazmur 119:160). Jadi adalah merupakan tanggung-jawab seorang ayah untuk menjadi guru rohani (pengajar Firman Tuhan) bagi anak-anaknya dalam keluarga, sebagai seorang ayah dalam keluarga Kristen kita harus sanggup memimpin kebaktian keluarga di rumah agar anak-anak kita dapat meniru dan kelak akan mempraktekkannya apabila anak-anak itu kelak sudah berkeluarga (Amsal 22:7).

Seorang ayah dalam keluarga Kristen haruslah bisa menjadi guru dalam keluarga bagi anak-anaknya. Yang saya maksudkan adalah seorang anak harus lebih yakin kepada ayahnya dari-pada orang lain. Beberapa kali saya mengikuti tayangan televisi yang berjudul “Who wants to be a millionaire” ketika mereka terbentur dan tidak bisa menjawab belum pernah ada diantara mereka (yang saya tahu) meminta tolong untuk menelepon ayahnya untuk membantunya. Mengapa?

Kalau kita membaca Kitab Kejadian pasal 22:1-19, ketika Abraham membawa Ishak ke tanah Moria di ayat 7-8, Ishak bertanya kepada ayahnya Abraham, “Disini sudah ada api dan kayu, tetapi dimanakah anak domba untuk korban bakaran itu?” Sahut Abraham, “Allah yang akan menyediakan anak domba untuk korban bakaran bagiNya, anakku.” Coba kita renungkan dan pikirkan sejenak percakapan mereka berdua. Ishak begitu yakin akan perkataan ayahnya sehingga ia tidak menanyakan yang lain lagi melainkan mereka terus berjalan melanjutkan perjalanan mereka. Mungkinkah Ishak akan menerima jawaban ayahnya begitu saja tanpa Abraham telah membangun kepercayaan anaknya terlebih dahulu hari demi hari?

Jawabnya pasti. Abraham adalah bapa semua orang beriman karena ia adalah ayah yang sekaligus menjadi guru kepada anaknya buktinya: Ishak tahu apa saja yang dibutuhkan untuk mempersembahkan korban bakaran, hal ini menunjukkan kepada kita bahwa Ishak telah sering melihat ayahnya mempersembahkan korban bakaran kepada Tuhan. Disinilah kita melihat bagaimana Abraham menjadi guru sekaligus menjadi teladan bagi Ishak. Jika Saudara ingin seperti Abraham seorang ayah idaman jadilah hamba Tuhan yang setia selalu mengutamakan Tuhan dalam hidup Saudara (Matius 6:33).

Seorang Ayah Adalah Seorang Yang Menyediakan Nafkah Bagi Keluarga

Setelah manusia pertama yaitu Adam jatuh ke tangan setan dengan melanggar Firman Allah, Allah memperbaharui hukum kerja yang telah diberikan kepadanya di Taman Eden. Dan kita semua tahu bahwa hukum kerja yang diberikan oleh Tuhan kepada Adam setelah Adam berdosa jauh lebih berat dari yang diberikan Tuhan di taman Eden. Di dalam kitab Kejadian 2:15, Allah memberikan hukum kerja kepada Adam untuk mengusahakan dan memelihara taman itu. Dengan kata lain pekerjaan Adam hanya memperindah atau mendekorasi taman itu. Tetapi hukum baru yang diberikan Tuhan kepada Adam setelah Adam berdosa terdapat dalam kitab Kejadian 3:19, “dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali lagi menjadi tanah, karena dari situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu." Hukum yang baru inilah yang diwariskan oleh Adam kepada semua ayah yang ada di dunia ini yaitu kerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tetapi kalau kita menyadari hal ini kita sebagai ayah tidak hanya bekerja untuk mencari nafkah tetapi sekaligus kita memberi teladan kepada anak-anak kita bahwa demikianlah tanggung-jawab seorang ayah. Persis seperti pepatah bangsa Indonesia “Menyelam sambil minum air”, “sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui.” Oleh karena itu tidak ada alasan bagi kita sebagai ayah untuk malas bekerja mencari nafkah. Karena kalau kita malas berarti kita telah menempa generasi penerus kita untuk malas (Amsal 20:13; 6:6; 10:21 b).

Sebagai seorang ayah kita harus menentang pendapat orang yang mengatakan, ”Sudah nasib saya begini, miskin!” Tetapi mari kita sadari diri kita, apakah kita miskin karena malas bekerja? Padahal Tuhan sudah mengatakan kepada kita kalau ingin makan kenyang, kerja keras! (2 Tesalonika 3:10,11). Paulus sangat jelas sekali mengatakan jika ada orang yang tidak mau bekerja jangan ia makan. Secara logika kalau saya ingin makan saya harus bekerja. Ada orang yang mengatakan: “kalau ada orang kenyang hanya makan dan tidak mau bekerja ia disamakan dengan seekor babi.”

Sebagai seorang ayah Kristen kita harus mencari nafkah yang halal. Jangan kita berpikiran yang penting dapat rezeki tidak peduli apakah cara kita itu bertentangan dengan Firman Tuhan. Di dalam Kolose 3:17 Firman Tuhan berbagi apa saja yang kita lakukan harus sesuai dengan Firman Tuhan. Kita harus menunjukkan identitas kita sebagai orang Kristen dalam mencari nafkah untuk keluarga. Kita tidak boleh menyamakan diri kita dengan orang-orang dunia dalam segala hal khususnya dalam mencari nafkah.

Sebagai seorang ayah Kristen kita harus memberikan hasil keringat atau upah yang benar-benar halal untuk keluarga kita agar Tuhan memberikan kedamaian dalam hati keluarga kita itu. Kalau anak-anak kita tahu bahwa pekerjaan kita selaras dengan Firman Tuhan, mereka akan menghargai hasil kerja kita itu dan sekaligus mereka akan bangga punya ayah yang bekerja di dalam terang (1 Yohanes 1:7). Dan jangan lupa apapun yang dilakukan oleh seorang ayah akan ditiru oleh anak-anaknya ingat pepatah orang Inggris, “Like father like son.” Yang artinya anak selalu mengikuti jejak ayahnya seperti itu kira-kira pengertiannya. Orang Indonesia bilang:”Tidak jauh buah mangga jatuh dari pohonnya.”
 
Kesimpulan:

Suami ataupun ayah dalam keluarga memiliki tanggung-jawab penuh bagi keluarganya. Itulah sebabnya seorang suami atau seorang ayah disebut kepala keluarga dan juga sebagai pemimpin. Karena baik suami maupun ayah memiliki peran penting dalam keluarga karena suami ataupun ayahnya yang menjadi nakhoda bahtera keluarga yang sedang berlayar mengarungi lautan luas dengan gelombang besar dan kecil untuk menuju pelabuhan abadi yaitu surga yang kekal (Wahyu 21:11-21).

Pertanyaan-pertanyaan untuk didiskusikan :

1. Kapankah seseorang itu mendapat julukan sebagai suami dan ayah?

2. Bagaimanakah tanggung-jawab seorang suami terhadap isterinya?

3. Bagaimanakah sikap seorang suami terhadap isterinya?

4. Jelaskan pandangan seorang ayah Kristen terhadap hukum perkawinan.

5. Bagaimanakah tanggung-jawab seorang ayah terhadap anak-anaknya?

6. Jelaskan bagaimana tanggung-jawab seorang ayah terhadap nafkah keluarga.

7. Bagaimana seharusnya seorang ayah Kristen itu dalam mempersiapkan kebutuhan rumah tangganya?