Pernikahan dan Rumah
Pernikahan dan rumah tangga adalah salah satu topik yang sangat menarik dan penting untuk dipelajari oleh orang Kristen, baik mereka yang sedang berencana untuk menikah maupun mereka yang telah menikah atau berumah tangga. Salah satu tujuan penting mempelajari topik ini agar “...kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan...” (Ibrani 13:4a). Mengapa perlu menghormati pernikahan? Karena pernikahan dan rumah tangga adalah sebuah lembaga yang didirikan oleh Allah disamping pemerintah dan gereja. Dari ketiga lembaga ini yang paling tua adalah pernikahan atau rumah tangga.
Jim E. Waldron mengatakan bahwa “Rumah tangga adalah institusi tertua... Rumah tangga adalah satuan masyarakat yang paling dasar. Seluruh peradaban bertahan atau hilang tergantung pada apakah kehidupan rumah tangga kuat atau lemah. Rumah tangga telah ada sejak permulaan waktu, dan tanpa diragukan akan selalu ada sepanjang manusia tetap hidup di muka bumi ini. Rumah tangga membentuk dasar setiap kelompok masyarakat” (Waldron, 1998: 36).
Allah ingin supaya setiap pernikahan harus dilaksanakan sesuai dengan kehendakNya. Roy Deaver mengatakan bahwa “setiap pernikahan harus tunduk kepada hukum dan peraturan Allah” (Deaver dalam Warren, 1994: 6). Setiap rumah tangga tentunya menginginkan kebahagiaan. Hal itu hanya akan terwujud bila mengerti prinsip-prinsip pernikahan alkitabiah dengan benar. Bukan berarti tidak akan ada masalah sama sekali di dalam rumah tangga tetapi akan lebih dewasa menyelesaikannya sehingga rumah tangga tetap harmonis.
Berikut ini kita akan melihat beberapa prinsip alkitabiah pernikahan dan rumah tangga.
Pernikahan adalah rancangan Allah
Ide pernikahan berasal dari Allah sendiri. Kejadian 2:18 menyatakan, TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." Kalau kita perhatikan ayat ini bahwa manusia yang dimaksud disini tak lain adalah Adam, manusia pertama. Ia diciptakan Allah seorang diri, tanpa seorang lain yang sejodoh dengannya. Adam melewati kehidupannya beberapa waktu lamanya bersama makhluk hidup lainnya, “...tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:20).
Adam tidak bisa hidup sendirian sebagai manusia yang berbeda jenis dari makhluk-makhluk ciptaan Allah lainnya, dia kesepian dan dia membutuhkan seorang penolong (pendamping). Melihat keadaan Adam ini Allah dengan inisiatifNya sendiri, menciptakan seorang perempuan dari tulang rusuk dan daging Adam, dia adalah Hawa (Kejadian 2:21-23). Allah tidak membiarkan Adam dan Hawa hidup beberapa lama tanpa ikatan pernikahan, tetapi Allah langsung mengikat mereka dalam pernikahan yang kudus dengan berfirman, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24). Demikianlah Allah mengukuhkan Adam dan Hawa sebagai suami-isteri dalam ikatan pernikahan kudus. Adam dan Hawa sekarang sudah hidup dalam sebuah rumah tangga baru.
Sejak Allah telah melembagakan pernikahan mulai dari Adam dan Hawa, maka itu akan terus berlaku di segala zaman. Yesus kembali mengingatkan dan sekaligus meneguhkan hal ini ketika Dia datang ke bumi (Matius 19:4-6). Manusia tidak punya hak sedikitpun merubah rancangan Allah ini. Kalau manusia mencoba menggunakan caranya sendiri untuk merancang pernikahan, maka itu adalah tindakan pemberontakan terhadap Allah. Thomas B Warren mengatakan “bila tidak menghormati dan mentaati perintah-perintah dan hukum-hukum ini berarti telah memberontak terhadap Allah dan... akan menghasilkan ketidak-bahagiaan dalam kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang...” (Warren, 1994:20). Dengan kata lain bahwa tindakan pemberontakan ini adalah dosa dan ada konsekuensinya, baik dalam kehidupan di bumi maupun di dunia kekekalan.
Pernikahan adalah untuk
seorang laki-laki dewasa dengan
seorang perempuan dewasa
Kejadian 1:27 mengatakan “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Kemudian Kejadian 2:24 menegaskan, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Kedua ayat ini menyatakan pribadi yang diperkenankan untuk menikah, baik dari segi gender (jenis kelamin), kuantitas (jumlah), dan kualitas (mutu). Sangat beralasan mengapa Allah menciptakan seorang perempuan, dan bukan dua atau tiga orang perempuan, bahkan bukan seorang laki-laki bagi Adam, karena memang Allah menghendaki seorang Adam menikah dengan seorang Hawa saja.
Rod Rutherford memberikan beberapa observasinya tentang hal ini: (1) Allah menciptakan seorang perempuan untuk seorang laki-laki. (2) Pada mulanya, tidak adanya kemungkinan perceraian ataupun perzinahan bagi seseorang. (3) Allah menciptakan laki-laki dan mengetahui apa yang terbaik untuknya;... (4) Rencana Allah pada mulanya sederhana saja, yaitu “seorang laki-laki, seorang perempuan untuk seumur hidup.” (Rutherford dalam Waldron, 1998: 21).
Berikut ini kita dapat melihat beberapa kategori pribadi yang diperkenankan untuk menikah secara alkitabiah.
1. Seorang laki-laki dan seorang perempuan, keduanya belum pernah menikah (Matius 19:4-6; Markus 6:6-9).
2. Seorang laki-laki atau seorang perempuan yang belum pernah menikah dan seorang perempuan atau seorang laki-laki yang telah ditinggal mati oleh suami atau isterinya (Roma 7:2-3; 1 Korintus 7:39).
3. Seorang laki-laki atau seorang perempuan dan seorang perempuan atau seorang laki-laki yang telah menceraikan isterinya karena isterinya berzinah atau menceraikan suaminya karena suaminya berzinah (Markus 10:12; Matius 19:9; 5:32).
4. Seorang laki-laki dan seorang perempuan, keduanya telah ditinggal mati oleh isteri atau suaminya (1 Korintus 7:39).
5. Seorang laki-laki dan seorang perempuan, keduanya telah menceraikan isteri atau suaminya karena isteri atau suaminya itu berzinah (Matius 19:9; 5:32;
Markus 10:12).
Demikian juga berikut ini beberapa kategori pribadi yang tidak diperkenankan untuk menikah.
1. Seorang laki-laki dan seorang laki-laki (Kejadian 2:24; bdg. Roma 1:26,28; 1 Korintus 6:9-10).
2. Seorang perempuan dan seorang perempuan (Kejadian 2:24; bdg. Roma 1:27,28).
3. Seorang perempuan atau seorang laki-laki yang belum pernah menikah dan seorang laki-laki atau seorang perempuan yang menikah (Matius 19:9; Matius 5:32).
4. Seorang laki-laki dan seorang perempuan, keduanya masih terikat hukum pernikahan dengan pasangannya masing-masing (isteri atau suami).
5. Seorang laki-laki atau seorang perempuan yang belum pernah menikah dan seorang perempuan atau seorang laki-laki yang telah menceraikan suami atau isterinya bukan karena suami atau isterinya itu berzinah (Matius 19:9; 5:32).
6. Seorang laki-laki atau seorang perempuan yang telah ditinggal mati isterinya dan seorang perempuan atau seorang laki-laki yang menceraikan suami atau isterinya bukan karena suami atau isterinya itu berzinah (Roma 7:2-3; 1 Korintus 7:39).
7. Seorang laki-laki atau seorang perempuan yang telah menceraikan isteri atau suami bukan karena isteri atau suaminya itu berzinah dan seorang perempuan atau seorang laki-laki yang juga telah menceraikan suami atau isterinya bukan karena suami atau isterinya itu berzinah (Matius 19:9; Markus 10:12; Matius 5:32).
8. Seorang perempuan dan seorang laki-laki, keduanya telah diceraikan oleh suami atau isterinya karena zinah (Matius 19:9; Markus 10:12).
9. Poligami (seorang laki-laki menikahi lebih dari satu orang perempuan).
10. Poliandri (seorang perempuan menikahi lebih dari satu orang laki-laki).
Disamping itu juga, ada hal lain yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari pernikahan, yaitu bahwa seorang (laki-laki atau perempuan) yang akan menikah harus dewasa. Allah membentuk pernikahan hanya untuk seorang yang dewasa. Kita perhatikan Adam dan Hawa, keduanya adalah individu yang diperkenankan untuk menikah karena keduanya dewasa. Penciptaan Adam dan Hawa dalam keadaan dewasa adalah sebagai standard untuk pribadi yang diperkenankan untuk menikah. Kedewasaan ini sangat dibutuhkan untuk menjamin terbentuknya sebuah rumah tangga yang harmonis dan bahagia.
Kedewasaan yang dimaksudkan disini adalah: Pertama, kedewasaan secara fisik. Seseorang itu sudah mencapai usia yang pas untuk menikah; bagi laki-laki sudah mampu fisiknya untuk berusaha menghidupi rumah tangganya; bagi perempuan sudah siap untuk berusaha dan juga melahirkan. Kedua, kedewasaan secara mental. Dewasa berarti akil-balik. Seseorang itu sudah dapat menggunakan pikirannya dengan baik sehingga dapat bertindak bijaksana dalam membina dan mengatur rumah tangganya. Ketiga, kedewasaan secara emosional. Seseorang itu sudah dapat menguasai emosinya dengan baik ketika nanti ada persoalan yang terjadi dalam rumah tangga, sehingga tidak terjadi perselisihan yang akan menghancurkan rumah tangganya. Keempat, kedewasaan secara rohani. Seseorang harus mempunyai hubungan yang baik dengan Allah, takut kepada Allah, taat kepada perintah-perintahNya, mempunyai iman yang teguh. Dengan kata lain bahwa dia adalah umat Allah yang benar (orang Kristen). Ini akan menjadi fondasi yang kokoh baginya untuk menjalankan rumah tangganya. Seseorang itu akan berusaha keras untuk menuntun baik dirinya maupun seluruh anggota keluarganya kepada Tuhan (Lihat Yosua 24:15).
Pernikahan Itu Berlandaskan Cinta
Adam sangat merindukan seorang pendamping yang dapat menjadi pelabuhan cintanya. Lalu Allah menciptakan seorang perempuan yang dicintai Adam. Tidak ada indikasi bahwa Adam terpaksa menikahi Hawa oleh karena tidak ada pilihan baginya. Kejadian 2:23 mengatakan “Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki." Tersirat dalam ayat ini betapa cintanya Adam pada Hawa dan sebaliknya. Maka dengan alasan inilah Allah menikahkan Adam dan Hawa dengan berfirman: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24).
Amos mengatakan “Berjalankah dua orang bersama-sama, jika mereka belum berjanji?” (Amos 3:3). Ayat ini dapat diaplikasikan pada pernikahan, yaitu kedua insan (laki-laki dan perempuan) yang hendak menikah harus mengawalinya dengan perasaan suka sama suka atau cinta. Dalam beberapa kasus pernikahan, ada yang menikah oleh karena materi (harta), membayar budi baik, bahkan mungkin untuk memeras orang lain, dan lain sebagainya. Ini adalah pernikahan yang tidak sehat dan sangat ditentang oleh Allah. Tetapi perlu diingat bahwa meskipun dengan motif-motif salah ini seseorang menikah, sekali dia menikah secara alkitabiah, maka itu adalah pernikahan yang syah di hadapan Allah.
Cinta dibutuhkan dalam sebuah pernikahan atau rumah tangga. Jim E. Waldron mengatakan “...cinta adalah minyak yang melumasi hubungan anggota-anggota sebuah keluarga, dan pernikahan adalah bahan perekatnya” (Waldron, 1998: 36).
Cinta sejati adalah cinta yang rela berkorban. Suami dan isteri harus saling berkorban satu sama lain. Suami harus mengasihi isterinya (Efesus 5:25, 28, 29, 32-33) dan sebaliknya demikian. Saling memenuhi kebutuhan masing-masing secara biologis (1 Korintus 7:3-5). Untuk melakukan semua hal ini dibutuhkan cinta di antara keduanya. Hubungan cinta antara suami dan isteri menjadi simbol hubungan kasih antara Kristus dan gerejaNya. Ini menujukkan bahwa kasih atau cinta itu sangat penting di antara keduanya.
Hal penting lain yang jangan dilewatkan adalah cinta melibatkan komunikasi di antara keduanya. Itulah yang dimaksudkan oleh Amos dengan kata “berjanji.”
Pernikahan adalah untuk memperolah keturunan
Setelah Adam dan Hawa disatukan Allah dalam pernikahan kudus, dan mereka sekarang menjalani sebuah rumah tangga baru, ternyata mereka tidak akan hidup berdua saja selamanya, tetapi Allah memberkati mereka dengan mengaruniakan anak-anak yang akan menambah jumlah anggota dalam keluarga mereka (Kejadian 1:28). Kehadiran anak-anak dalam keluarga bukan semata-mata menambah jumlah anggota keluarga, tetapi lebih dari itu kehadiran mereka sebagai penghibur, pemotivasi dan pelengkap.
Anak-anak adalah berkat dan milik Tuhan. Pemazmur mengatakan, “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN” (Mazmur 127:3a). Ini menunjukkan bahwa Allah menuntut tanggung-jawab besar dari sebuah keluarga agar anak-anak yang dikaruniakanNya itu dipelihara, dibesarkan, dididik, diasuh dengan baik. Bagaimanapun keadaan anak-anak itu saat dilahirkan, tetapi yang pasti bahwa mereka bukan objek penderita yang dapat dijadikan sebagai pelampiasan amarah atau kebrutalan seorang ayah atau ibu. Saya pernah menyaksikan sebuah sinetron yang ditayangkan oleh stasiun televisi RCTI. Sinetron itu menceritakan kisah sebuah keluarga yang memiliki seorang anak laki-laki tunggal dan agak idiot. Penerimaan kedua orang-tuanya berbeda; sang ibu menerima apa adanya dan sangat mencintainya, sebaliknya sang ayah tidak menerima kenyataan keadaan anak itu dan bahkan menganggap bahwa anak itu sebagai pembawa sial dan malapetaka dalam keluarga mereka, bahkan sampai tega sang ayah berkata bahwa anaknya itu sampah dan biar mati saja.
Mungkin saja ada sebuah keluarga yang digambarkan oleh cerita sinetron di atas. Kalau itu terjadi, maka itu adalah sebuah pelanggaran besar yang dilakukan oleh sebuah keluarga, apakah itu keluarga non-Kristen ataupun Kristen.
Penulis kitab Amsal berkata: “Mahkota orang-orang-tua adalah anak cucu ¼ ” (Amsal 17:6a). Ini menunjukkan bahwa kehadiran anak dalam sebuah keluarga adalah sebuah kehormatan bagi keluarga tersebut. Sebuah keluarga pasti menginginkan kehormatan.
Satu hal penting lainnya yang perlu diketahui bahwa salah satu kebutuhan anak adalah dia diinginkan oleh kedua orang-tuanya. Ada beberapa contoh dalam Alkitab, seperti Ishak diinginkan oleh Sara dan Abraham (Kejadian 15:1-6; 16:1-2; 17:15-19; 21:1-7), Samuel diinginkan oleh Hana dan Elkana (1 Samuel 1:10-11, 19-20 ).
Perlu dipertimbangkan juga bahwa tidak mudah menjalankan tanggung-jawab sebagai ayah dan ibu untuk seorang anak, diperlukan kesiapan fisik, mental, emosi dan rohani, juga ekonomi. Pertimbangan ini dapat didasarkan pada pribadi suami dan isteri, apakah keduanya telah memiliki kesiapan-kesiapan ini atau sebaliknya. Suami dan isteri tidak cukup hanya siap secara ekonomi untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga termasuk kebutuhan anak, tetapi keduanya harus benar-benar siap secara fisik, mental, emosi, rohani dan juga secara ekonomi. Dengan kata lain siap dalam semua bidang ini. Mungkin ada yang mengatakan ekonomi tidak begitu penting, tetapi Alkitab sendiri menegaskan pentingnya persiapan ekonomi (1 Timotius 5:8).
Seorang saudara seiman pernah menceritakan pengalaman yang diperolehnya bahwa pada tahun-tahun awal (satu atau dua tahun) pernikahan sebuah pasangan suami-isteri, biasanya baru menjalani masa penyesuaian diri satu sama lain, secara mental, secara emosional, saling mempelajari sifat masing-masing, berusaha untuk membuang ego (sifat mau menang sendiri), dan yang lebih penting lagi adalah merencanakan hal-hal (jangka panjang maupun jangka pendek) yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam rumah tangga. Setidaknya setelah melewati tahun-tahun awal inilah saat yang baik untuk memiliki anak. Hal ini juga akan memberikan sumbangsih besar untuk mengatasi hal-hal destruktif (menghancurkan) yang salah satu dampaknya dapat merugikan anak-anak dalam keluarga.
Pengalaman tidak semuanya salah. Kita dapat belajar dari pengalaman baik orang lain, yang dapat memberikan jalan bagi suami-isteri untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis dan bahagia serta dapat menjadi teladan bagi keluarga lain.
Pernikahan adalah ikatan seumur hidup
Dalam jawabanNya atas pertanyaan orang-orang Farisi apakah boleh seseorang menceraikan isterinya karena alasan apa saja, Yesus berkata: “ ¼ Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6; Markus 10:9). Yesus disini memberi kesimpulan hukum pernikahan yang telah ditetapkan Allah sejak semula, yang tetap berlaku hingga sekarang ini dan juga sebagai hukum Kristus. Jim E. Waldron mengomentari pernyataan Yesus ini demikian:
Hukum Kristus ini memberikan dua fakta jelas: (1) Allah yang menyatukan atau mengikat dalam pernikahan; dan (2) apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia. Dari kedua hal di atas, pertama kita tahu bahwa pernikahan bukan semata-mata suatu bentuk kesatuan yang Anda lakukan sendiri. Ketika dua orang menikah, mereka tidak hanya masuk ke dalam sebuah perjanjian antara keduanya, tetapi juga dengan Allah. Dengan kata lain, janji (sumpah) mereka tidak hanya kepada satu sama lain tetapi di hadapan Allah dengan penuh tanggung-jawab kepada Allah... Dalam pernikahan, dua orang tidak hanya menyatukan diri bersama, mereka juga diikat oleh Allah... Fakta kedua yang dinyatakan di atas adalah...tidak ada seorangpun, tidak ada hukum, tidak ada hakim, tidak ada juri, dan tidak ada orang yang terikat hukum atau di luar dari hukum yang mempunyai hak untuk masuk di antara seorang laki-laki dan isterinya yang dinikahi secara hukum” (Waldron, 1998:38).
Perlu diingat juga bahwa pernikahan sebagai ikatan seumur hidup bukan berarti mengesampingkan pelanggaran yang terjadi dalam pernikahan, yaitu perzinahan (Matius 19:9; 5:32; Markus 10:1,12) ataupun peristiwa alamiah yang menimpa pernikahan, yaitu matinya salah seorang pasangan suami atau isteri ketika masih dalam ikatan hukum pernikahan (Roma 7:2,3).
Kesimpulan
Pernikahan itu alkitabiah hanya jika dilakukan sesuai dengan rancangan Allah dan sesuai dengan kehendakNya. Rumah tangga akan tetap harmonis dan bahagia apabila setiap anggota di dalamnya saling mencintai atau mengasihi dan terlebih lagi memiliki hubungan yang baik dengan Allah yang telah melembagakan rumah tangga.
Buku Rujukan :
1. Waldron, Jim E., Is There A Universal Code Of Ethics?, Print India A-38/2, Mayapuri, Phase I, New Delhi-110064, 2001.
2. Warren, Thomas B., Marriage Is For Those Who Love God ...And One Another, National Christian Press, Inc., Moore, Oklahoma 73153, 1994.
3. Ayat-ayat dikutip dari Alkitab Terjemahan Baru (TB) LAI 1974.
Pertanyaan-pertanyaan Diskusi:
1. Jelaskan mengapa harus menghormati pernikahan?
2. Bagaimana supaya rumah tangga itu bahagia dan harmonis?
3. Berikan pengertian tentang “penolong yang sepadan.”
4. Pasangan yang bagaimanakah yang diperkenankan atau tidak diperkenankan untuk menikah secara alkitabiah?
5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan “seorang yang mau menikah harus dewasa.”
6. Mengapa pernikahan harus berlandaskan cinta?
7. Bagaimanakah seharusnya kedua orang-tua memperlakukan anak-anak mereka?
8. Mengapa harus memperlakukan anak-anak demikian?
9. Jelaskan alasan alkitabiah seorang laki-laki atau perempuan menceraikan isteri atau suaminya.
10. Jelaskan apa yang dimaksud dengan “apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.”
Jim E. Waldron mengatakan bahwa “Rumah tangga adalah institusi tertua... Rumah tangga adalah satuan masyarakat yang paling dasar. Seluruh peradaban bertahan atau hilang tergantung pada apakah kehidupan rumah tangga kuat atau lemah. Rumah tangga telah ada sejak permulaan waktu, dan tanpa diragukan akan selalu ada sepanjang manusia tetap hidup di muka bumi ini. Rumah tangga membentuk dasar setiap kelompok masyarakat” (Waldron, 1998: 36).
Allah ingin supaya setiap pernikahan harus dilaksanakan sesuai dengan kehendakNya. Roy Deaver mengatakan bahwa “setiap pernikahan harus tunduk kepada hukum dan peraturan Allah” (Deaver dalam Warren, 1994: 6). Setiap rumah tangga tentunya menginginkan kebahagiaan. Hal itu hanya akan terwujud bila mengerti prinsip-prinsip pernikahan alkitabiah dengan benar. Bukan berarti tidak akan ada masalah sama sekali di dalam rumah tangga tetapi akan lebih dewasa menyelesaikannya sehingga rumah tangga tetap harmonis.
Berikut ini kita akan melihat beberapa prinsip alkitabiah pernikahan dan rumah tangga.
Pernikahan adalah rancangan Allah
Ide pernikahan berasal dari Allah sendiri. Kejadian 2:18 menyatakan, TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia." Kalau kita perhatikan ayat ini bahwa manusia yang dimaksud disini tak lain adalah Adam, manusia pertama. Ia diciptakan Allah seorang diri, tanpa seorang lain yang sejodoh dengannya. Adam melewati kehidupannya beberapa waktu lamanya bersama makhluk hidup lainnya, “...tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:20).
Adam tidak bisa hidup sendirian sebagai manusia yang berbeda jenis dari makhluk-makhluk ciptaan Allah lainnya, dia kesepian dan dia membutuhkan seorang penolong (pendamping). Melihat keadaan Adam ini Allah dengan inisiatifNya sendiri, menciptakan seorang perempuan dari tulang rusuk dan daging Adam, dia adalah Hawa (Kejadian 2:21-23). Allah tidak membiarkan Adam dan Hawa hidup beberapa lama tanpa ikatan pernikahan, tetapi Allah langsung mengikat mereka dalam pernikahan yang kudus dengan berfirman, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24). Demikianlah Allah mengukuhkan Adam dan Hawa sebagai suami-isteri dalam ikatan pernikahan kudus. Adam dan Hawa sekarang sudah hidup dalam sebuah rumah tangga baru.
Sejak Allah telah melembagakan pernikahan mulai dari Adam dan Hawa, maka itu akan terus berlaku di segala zaman. Yesus kembali mengingatkan dan sekaligus meneguhkan hal ini ketika Dia datang ke bumi (Matius 19:4-6). Manusia tidak punya hak sedikitpun merubah rancangan Allah ini. Kalau manusia mencoba menggunakan caranya sendiri untuk merancang pernikahan, maka itu adalah tindakan pemberontakan terhadap Allah. Thomas B Warren mengatakan “bila tidak menghormati dan mentaati perintah-perintah dan hukum-hukum ini berarti telah memberontak terhadap Allah dan... akan menghasilkan ketidak-bahagiaan dalam kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang...” (Warren, 1994:20). Dengan kata lain bahwa tindakan pemberontakan ini adalah dosa dan ada konsekuensinya, baik dalam kehidupan di bumi maupun di dunia kekekalan.
Pernikahan adalah untuk
seorang laki-laki dewasa dengan
seorang perempuan dewasa
Kejadian 1:27 mengatakan “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Kemudian Kejadian 2:24 menegaskan, “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.” Kedua ayat ini menyatakan pribadi yang diperkenankan untuk menikah, baik dari segi gender (jenis kelamin), kuantitas (jumlah), dan kualitas (mutu). Sangat beralasan mengapa Allah menciptakan seorang perempuan, dan bukan dua atau tiga orang perempuan, bahkan bukan seorang laki-laki bagi Adam, karena memang Allah menghendaki seorang Adam menikah dengan seorang Hawa saja.
Rod Rutherford memberikan beberapa observasinya tentang hal ini: (1) Allah menciptakan seorang perempuan untuk seorang laki-laki. (2) Pada mulanya, tidak adanya kemungkinan perceraian ataupun perzinahan bagi seseorang. (3) Allah menciptakan laki-laki dan mengetahui apa yang terbaik untuknya;... (4) Rencana Allah pada mulanya sederhana saja, yaitu “seorang laki-laki, seorang perempuan untuk seumur hidup.” (Rutherford dalam Waldron, 1998: 21).
Berikut ini kita dapat melihat beberapa kategori pribadi yang diperkenankan untuk menikah secara alkitabiah.
1. Seorang laki-laki dan seorang perempuan, keduanya belum pernah menikah (Matius 19:4-6; Markus 6:6-9).
2. Seorang laki-laki atau seorang perempuan yang belum pernah menikah dan seorang perempuan atau seorang laki-laki yang telah ditinggal mati oleh suami atau isterinya (Roma 7:2-3; 1 Korintus 7:39).
3. Seorang laki-laki atau seorang perempuan dan seorang perempuan atau seorang laki-laki yang telah menceraikan isterinya karena isterinya berzinah atau menceraikan suaminya karena suaminya berzinah (Markus 10:12; Matius 19:9; 5:32).
4. Seorang laki-laki dan seorang perempuan, keduanya telah ditinggal mati oleh isteri atau suaminya (1 Korintus 7:39).
5. Seorang laki-laki dan seorang perempuan, keduanya telah menceraikan isteri atau suaminya karena isteri atau suaminya itu berzinah (Matius 19:9; 5:32;
Markus 10:12).
Demikian juga berikut ini beberapa kategori pribadi yang tidak diperkenankan untuk menikah.
1. Seorang laki-laki dan seorang laki-laki (Kejadian 2:24; bdg. Roma 1:26,28; 1 Korintus 6:9-10).
2. Seorang perempuan dan seorang perempuan (Kejadian 2:24; bdg. Roma 1:27,28).
3. Seorang perempuan atau seorang laki-laki yang belum pernah menikah dan seorang laki-laki atau seorang perempuan yang menikah (Matius 19:9; Matius 5:32).
4. Seorang laki-laki dan seorang perempuan, keduanya masih terikat hukum pernikahan dengan pasangannya masing-masing (isteri atau suami).
5. Seorang laki-laki atau seorang perempuan yang belum pernah menikah dan seorang perempuan atau seorang laki-laki yang telah menceraikan suami atau isterinya bukan karena suami atau isterinya itu berzinah (Matius 19:9; 5:32).
6. Seorang laki-laki atau seorang perempuan yang telah ditinggal mati isterinya dan seorang perempuan atau seorang laki-laki yang menceraikan suami atau isterinya bukan karena suami atau isterinya itu berzinah (Roma 7:2-3; 1 Korintus 7:39).
7. Seorang laki-laki atau seorang perempuan yang telah menceraikan isteri atau suami bukan karena isteri atau suaminya itu berzinah dan seorang perempuan atau seorang laki-laki yang juga telah menceraikan suami atau isterinya bukan karena suami atau isterinya itu berzinah (Matius 19:9; Markus 10:12; Matius 5:32).
8. Seorang perempuan dan seorang laki-laki, keduanya telah diceraikan oleh suami atau isterinya karena zinah (Matius 19:9; Markus 10:12).
9. Poligami (seorang laki-laki menikahi lebih dari satu orang perempuan).
10. Poliandri (seorang perempuan menikahi lebih dari satu orang laki-laki).
Disamping itu juga, ada hal lain yang penting dan tidak dapat dipisahkan dari pernikahan, yaitu bahwa seorang (laki-laki atau perempuan) yang akan menikah harus dewasa. Allah membentuk pernikahan hanya untuk seorang yang dewasa. Kita perhatikan Adam dan Hawa, keduanya adalah individu yang diperkenankan untuk menikah karena keduanya dewasa. Penciptaan Adam dan Hawa dalam keadaan dewasa adalah sebagai standard untuk pribadi yang diperkenankan untuk menikah. Kedewasaan ini sangat dibutuhkan untuk menjamin terbentuknya sebuah rumah tangga yang harmonis dan bahagia.
Kedewasaan yang dimaksudkan disini adalah: Pertama, kedewasaan secara fisik. Seseorang itu sudah mencapai usia yang pas untuk menikah; bagi laki-laki sudah mampu fisiknya untuk berusaha menghidupi rumah tangganya; bagi perempuan sudah siap untuk berusaha dan juga melahirkan. Kedua, kedewasaan secara mental. Dewasa berarti akil-balik. Seseorang itu sudah dapat menggunakan pikirannya dengan baik sehingga dapat bertindak bijaksana dalam membina dan mengatur rumah tangganya. Ketiga, kedewasaan secara emosional. Seseorang itu sudah dapat menguasai emosinya dengan baik ketika nanti ada persoalan yang terjadi dalam rumah tangga, sehingga tidak terjadi perselisihan yang akan menghancurkan rumah tangganya. Keempat, kedewasaan secara rohani. Seseorang harus mempunyai hubungan yang baik dengan Allah, takut kepada Allah, taat kepada perintah-perintahNya, mempunyai iman yang teguh. Dengan kata lain bahwa dia adalah umat Allah yang benar (orang Kristen). Ini akan menjadi fondasi yang kokoh baginya untuk menjalankan rumah tangganya. Seseorang itu akan berusaha keras untuk menuntun baik dirinya maupun seluruh anggota keluarganya kepada Tuhan (Lihat Yosua 24:15).
Pernikahan Itu Berlandaskan Cinta
Adam sangat merindukan seorang pendamping yang dapat menjadi pelabuhan cintanya. Lalu Allah menciptakan seorang perempuan yang dicintai Adam. Tidak ada indikasi bahwa Adam terpaksa menikahi Hawa oleh karena tidak ada pilihan baginya. Kejadian 2:23 mengatakan “Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki." Tersirat dalam ayat ini betapa cintanya Adam pada Hawa dan sebaliknya. Maka dengan alasan inilah Allah menikahkan Adam dan Hawa dengan berfirman: “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging” (Kejadian 2:24).
Amos mengatakan “Berjalankah dua orang bersama-sama, jika mereka belum berjanji?” (Amos 3:3). Ayat ini dapat diaplikasikan pada pernikahan, yaitu kedua insan (laki-laki dan perempuan) yang hendak menikah harus mengawalinya dengan perasaan suka sama suka atau cinta. Dalam beberapa kasus pernikahan, ada yang menikah oleh karena materi (harta), membayar budi baik, bahkan mungkin untuk memeras orang lain, dan lain sebagainya. Ini adalah pernikahan yang tidak sehat dan sangat ditentang oleh Allah. Tetapi perlu diingat bahwa meskipun dengan motif-motif salah ini seseorang menikah, sekali dia menikah secara alkitabiah, maka itu adalah pernikahan yang syah di hadapan Allah.
Cinta dibutuhkan dalam sebuah pernikahan atau rumah tangga. Jim E. Waldron mengatakan “...cinta adalah minyak yang melumasi hubungan anggota-anggota sebuah keluarga, dan pernikahan adalah bahan perekatnya” (Waldron, 1998: 36).
Cinta sejati adalah cinta yang rela berkorban. Suami dan isteri harus saling berkorban satu sama lain. Suami harus mengasihi isterinya (Efesus 5:25, 28, 29, 32-33) dan sebaliknya demikian. Saling memenuhi kebutuhan masing-masing secara biologis (1 Korintus 7:3-5). Untuk melakukan semua hal ini dibutuhkan cinta di antara keduanya. Hubungan cinta antara suami dan isteri menjadi simbol hubungan kasih antara Kristus dan gerejaNya. Ini menujukkan bahwa kasih atau cinta itu sangat penting di antara keduanya.
Hal penting lain yang jangan dilewatkan adalah cinta melibatkan komunikasi di antara keduanya. Itulah yang dimaksudkan oleh Amos dengan kata “berjanji.”
Pernikahan adalah untuk memperolah keturunan
Setelah Adam dan Hawa disatukan Allah dalam pernikahan kudus, dan mereka sekarang menjalani sebuah rumah tangga baru, ternyata mereka tidak akan hidup berdua saja selamanya, tetapi Allah memberkati mereka dengan mengaruniakan anak-anak yang akan menambah jumlah anggota dalam keluarga mereka (Kejadian 1:28). Kehadiran anak-anak dalam keluarga bukan semata-mata menambah jumlah anggota keluarga, tetapi lebih dari itu kehadiran mereka sebagai penghibur, pemotivasi dan pelengkap.
Anak-anak adalah berkat dan milik Tuhan. Pemazmur mengatakan, “Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN” (Mazmur 127:3a). Ini menunjukkan bahwa Allah menuntut tanggung-jawab besar dari sebuah keluarga agar anak-anak yang dikaruniakanNya itu dipelihara, dibesarkan, dididik, diasuh dengan baik. Bagaimanapun keadaan anak-anak itu saat dilahirkan, tetapi yang pasti bahwa mereka bukan objek penderita yang dapat dijadikan sebagai pelampiasan amarah atau kebrutalan seorang ayah atau ibu. Saya pernah menyaksikan sebuah sinetron yang ditayangkan oleh stasiun televisi RCTI. Sinetron itu menceritakan kisah sebuah keluarga yang memiliki seorang anak laki-laki tunggal dan agak idiot. Penerimaan kedua orang-tuanya berbeda; sang ibu menerima apa adanya dan sangat mencintainya, sebaliknya sang ayah tidak menerima kenyataan keadaan anak itu dan bahkan menganggap bahwa anak itu sebagai pembawa sial dan malapetaka dalam keluarga mereka, bahkan sampai tega sang ayah berkata bahwa anaknya itu sampah dan biar mati saja.
Mungkin saja ada sebuah keluarga yang digambarkan oleh cerita sinetron di atas. Kalau itu terjadi, maka itu adalah sebuah pelanggaran besar yang dilakukan oleh sebuah keluarga, apakah itu keluarga non-Kristen ataupun Kristen.
Penulis kitab Amsal berkata: “Mahkota orang-orang-tua adalah anak cucu ¼ ” (Amsal 17:6a). Ini menunjukkan bahwa kehadiran anak dalam sebuah keluarga adalah sebuah kehormatan bagi keluarga tersebut. Sebuah keluarga pasti menginginkan kehormatan.
Satu hal penting lainnya yang perlu diketahui bahwa salah satu kebutuhan anak adalah dia diinginkan oleh kedua orang-tuanya. Ada beberapa contoh dalam Alkitab, seperti Ishak diinginkan oleh Sara dan Abraham (Kejadian 15:1-6; 16:1-2; 17:15-19; 21:1-7), Samuel diinginkan oleh Hana dan Elkana (1 Samuel 1:10-11, 19-20 ).
Perlu dipertimbangkan juga bahwa tidak mudah menjalankan tanggung-jawab sebagai ayah dan ibu untuk seorang anak, diperlukan kesiapan fisik, mental, emosi dan rohani, juga ekonomi. Pertimbangan ini dapat didasarkan pada pribadi suami dan isteri, apakah keduanya telah memiliki kesiapan-kesiapan ini atau sebaliknya. Suami dan isteri tidak cukup hanya siap secara ekonomi untuk memenuhi seluruh kebutuhan keluarga termasuk kebutuhan anak, tetapi keduanya harus benar-benar siap secara fisik, mental, emosi, rohani dan juga secara ekonomi. Dengan kata lain siap dalam semua bidang ini. Mungkin ada yang mengatakan ekonomi tidak begitu penting, tetapi Alkitab sendiri menegaskan pentingnya persiapan ekonomi (1 Timotius 5:8).
Seorang saudara seiman pernah menceritakan pengalaman yang diperolehnya bahwa pada tahun-tahun awal (satu atau dua tahun) pernikahan sebuah pasangan suami-isteri, biasanya baru menjalani masa penyesuaian diri satu sama lain, secara mental, secara emosional, saling mempelajari sifat masing-masing, berusaha untuk membuang ego (sifat mau menang sendiri), dan yang lebih penting lagi adalah merencanakan hal-hal (jangka panjang maupun jangka pendek) yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam rumah tangga. Setidaknya setelah melewati tahun-tahun awal inilah saat yang baik untuk memiliki anak. Hal ini juga akan memberikan sumbangsih besar untuk mengatasi hal-hal destruktif (menghancurkan) yang salah satu dampaknya dapat merugikan anak-anak dalam keluarga.
Pengalaman tidak semuanya salah. Kita dapat belajar dari pengalaman baik orang lain, yang dapat memberikan jalan bagi suami-isteri untuk menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis dan bahagia serta dapat menjadi teladan bagi keluarga lain.
Pernikahan adalah ikatan seumur hidup
Dalam jawabanNya atas pertanyaan orang-orang Farisi apakah boleh seseorang menceraikan isterinya karena alasan apa saja, Yesus berkata: “ ¼ Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6; Markus 10:9). Yesus disini memberi kesimpulan hukum pernikahan yang telah ditetapkan Allah sejak semula, yang tetap berlaku hingga sekarang ini dan juga sebagai hukum Kristus. Jim E. Waldron mengomentari pernyataan Yesus ini demikian:
Hukum Kristus ini memberikan dua fakta jelas: (1) Allah yang menyatukan atau mengikat dalam pernikahan; dan (2) apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia. Dari kedua hal di atas, pertama kita tahu bahwa pernikahan bukan semata-mata suatu bentuk kesatuan yang Anda lakukan sendiri. Ketika dua orang menikah, mereka tidak hanya masuk ke dalam sebuah perjanjian antara keduanya, tetapi juga dengan Allah. Dengan kata lain, janji (sumpah) mereka tidak hanya kepada satu sama lain tetapi di hadapan Allah dengan penuh tanggung-jawab kepada Allah... Dalam pernikahan, dua orang tidak hanya menyatukan diri bersama, mereka juga diikat oleh Allah... Fakta kedua yang dinyatakan di atas adalah...tidak ada seorangpun, tidak ada hukum, tidak ada hakim, tidak ada juri, dan tidak ada orang yang terikat hukum atau di luar dari hukum yang mempunyai hak untuk masuk di antara seorang laki-laki dan isterinya yang dinikahi secara hukum” (Waldron, 1998:38).
Perlu diingat juga bahwa pernikahan sebagai ikatan seumur hidup bukan berarti mengesampingkan pelanggaran yang terjadi dalam pernikahan, yaitu perzinahan (Matius 19:9; 5:32; Markus 10:1,12) ataupun peristiwa alamiah yang menimpa pernikahan, yaitu matinya salah seorang pasangan suami atau isteri ketika masih dalam ikatan hukum pernikahan (Roma 7:2,3).
Kesimpulan
Pernikahan itu alkitabiah hanya jika dilakukan sesuai dengan rancangan Allah dan sesuai dengan kehendakNya. Rumah tangga akan tetap harmonis dan bahagia apabila setiap anggota di dalamnya saling mencintai atau mengasihi dan terlebih lagi memiliki hubungan yang baik dengan Allah yang telah melembagakan rumah tangga.
Buku Rujukan :
1. Waldron, Jim E., Is There A Universal Code Of Ethics?, Print India A-38/2, Mayapuri, Phase I, New Delhi-110064, 2001.
2. Warren, Thomas B., Marriage Is For Those Who Love God ...And One Another, National Christian Press, Inc., Moore, Oklahoma 73153, 1994.
3. Ayat-ayat dikutip dari Alkitab Terjemahan Baru (TB) LAI 1974.
Pertanyaan-pertanyaan Diskusi:
1. Jelaskan mengapa harus menghormati pernikahan?
2. Bagaimana supaya rumah tangga itu bahagia dan harmonis?
3. Berikan pengertian tentang “penolong yang sepadan.”
4. Pasangan yang bagaimanakah yang diperkenankan atau tidak diperkenankan untuk menikah secara alkitabiah?
5. Jelaskan apa yang dimaksud dengan “seorang yang mau menikah harus dewasa.”
6. Mengapa pernikahan harus berlandaskan cinta?
7. Bagaimanakah seharusnya kedua orang-tua memperlakukan anak-anak mereka?
8. Mengapa harus memperlakukan anak-anak demikian?
9. Jelaskan alasan alkitabiah seorang laki-laki atau perempuan menceraikan isteri atau suaminya.
10. Jelaskan apa yang dimaksud dengan “apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan manusia.”