Disiplin Anak di Rumah

Boleh dikatakan, bahwa investasi terbesar yang dapat dilakukan oleh orang-tua di dalam hidup ini adalah melatih dan mendisiplin anak-anak mereka. Masa depan setiap masyarakat terletak pada bagaimana anak-anak dibesarkan di dalam unit keluarga. Mempunyai anak-anak adalah kepercayaan yang penting dan sakral yang diberikan Allah kepada kita. Pencipta kita menyatakan, “ Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari-pada jalan itu” (Amsal 22:6). Anak-anak adalah suatu bagian yang sangat penting dari keseluruhan masyarakat. Ketika ada yang salah di dalam lingkungan keluarga, dan orang-tua tidak memberikan perhatian yang benar kepada anak-anak di dalam rumah tangga dan tidak memenuhi tanggung-jawab yang diperintahkan oleh Allah untuk memperlengkapi anak-anak mereka untuk hidup dengan benar dalam hidup ini, maka masa depan dari orang-orang itu akan menghadapi kesulitan yang sesungguhnya. Pada umumnya, jika orang-tua membesarkan anak dengan cara yang buruk, maka masyarakat akan mengalami kemunduran, sebab anak-anak kurang hormat kepada otoritas, karena itu, keselamatan dan keamanan masyarakat pada saatnya akan mengalami kemunduran.

Kekaisaran Romawi adalah sebuah contoh yang baik dari sebuah negara yang menghancurkan dirinya sendiri dari dalam, secara garis besarnya dari dalam unit keluarga. Mereka menjadi sangat tidak bermoral, dan sebagai akibatnya, mereka gagal mendisiplin dan melatih anak-anak mereka tentang prinsip-prinsip moral. Pertama, orang-orang dewasa di dalam masyarakat itu memberikan diri mereka sendiri kepada pemuasan nafsu, dan kedua, anak-anak mereka bertumbuh di bawah pengaruh hidup seperti itu. Hikmat manusia mereka serta kejahatannya menjadi gaya hidup bagi kebanyakan orang Roma dan diterima sebagai hal yang “normal”, karena itu anak-anak ditakdirkan untuk membuat kesalahan yang sama dan bahkan bertumbuh menjadi besar di dalam kehidupan mereka, sebab pengetahuan akan Allah dan kebenaranNya bukanlah bagian dari pelatihan mereka. Salomo menulis, “Kebenaran meninggikan derajat bangsa, tetapi dosa adalah noda bangsa” (Amsal 14:34). Saya pikir sekarang ini berhala materialisme diajarkan kepada anak-anak kita. Bekerja dan mendapatkan barang-barang adalah lebih penting dari-pada gereja.

Anak-anak tidak minta untuk dilahirkan ke dunia, tetapi satu kali mereka berada disini, mereka perlu diberi setiap kesempatan untuk mengikuti kebenaran dan diberkati dengan orang-tua yang saleh yang akan mengajar dan melatih mereka untuk mengikuti kebenaran, atau mereka dapat menjadi korban dari masyarakat dan belajar dari orang-tua mereka hanya apa yang diharapkan oleh masyarakat mereka. Jalan manapun adalah tanggung-jawab dari orang-tua untuk melihat dan mengerti kebenaran supaya dapat menghasilkan seorang dewasa yang takut akan Tuhan dalam anak-anak mereka.

Allah ingin agar kita mengerti, bahwa jika orang-tua melatih dan mendisiplin anak-anak mereka di awal kehidupan mereka, ajaran itu akan membentuk dan mencetak karakter mereka, dan mereka akan membawa pengajaran itu bersama mereka sepanjang hidup mereka. Anak-anak akan membuat kesalahan dan bahkan mereka mungkin melakukan hal-hal yang buruk sekali ketika mereka menjadi lebih tua, seperti kita-orang-tua melakukan hal-hal yang memalukan, tetapi umumnya mereka tidak akan menyimpang jauh dari karakter yang telah dibentuk di dalam mereka oleh orang-tua mereka di tahun-tahun awal kehidupan mereka. Kemungkinan bahwa mereka tidak akan menolak sepenuhnya apa yang telah diajarkan kepada mereka, jika mereka diajar dengan benar, mereka kemungkinan pada saatnya kembali kepada kebenaran. Salomo dalam Amsal 22:6 tidak mengajarkan bahwa anak-anak yang dilatih dengan benar dalam rumah tangga, tidak akan pernah menyimpang dari latihan itu ketika mereka mencapai kedewasaan dan tidak pernah kembali lagi kepada pelatihan mereka yang benar. Ada orang di dunia ini yang telah memilih untuk meninggalkan latihan mereka dan mengikuti jalan dunia yang jahat itu. Tetapi anak-anak yang dibesarkan di dalam sebuah keluarga Kristen, dimana orang-tua memenuhi tanggung-jawab yang diberikan Allah kepada mereka dalam membesarkan anak-anak, mereka akan mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk mengikuti kebenaran sepanjang hidup mereka dari- pada yang lain. Tetapi, satu kali seseorang itu mencapai usia akil baliq (umur dapat membedakan antara yang baik dan jahat) dia akan mulai membuat pilihan-pilihan untuk dirinya sendiri dan itu diluar kuasa dari orang-tuanya. Namun jika pengajaran, latihan dan disiplin dipraktekkan secara konsisten, kebanyakan anak-anak akan mengikuti pelatihan itu sepanjang hidup mereka. Kita sebagai orang-tua harus mempersiapkan diri secara rohani, lalu kemudian melakukan semua yang dapat dilakukan untuk memastikan masa depan anak-anak kita secara rohani dengan cara memberi mereka kebenaran yang akan memampukan mereka untuk hidup sebagai orang Kristen di dunia ini, supaya mereka dapat pergi ke surga.

Mengajar dan melatih melibatkan disiplin yang benar. Inilah sesuatu yang dirasakan masih kurang di Indonesia khususnya dalam unit keluarga. Disiplin koreksi (perbaikan) dianggap sebagai sesuatu yang negatif dan seringkali dipraktekkan ketika orang-tua sangat marah kepada anak-anak mereka. Maka ketika marah, anak-anak dihukum dengan sangat berat. Pada waktu yang lain, anak-anak diizinkan untuk berbuat sesuka hati mereka, selama itu tidak mengganggu kepentingan orang-tua. Tetapi toleransi tidak akan menyelesaikan masalah seorang anak yang pemberontak. Saya telah melihat ibu-ibu dengan anak-anak mereka yang masih kecil di sebuah toko. Anak itu ingin menyentuh semuanya dan si ibu memerintahkan kepada anak itu, “jangan sentuh itu” tetapi si anak tidak menghormati wewenang sang ibu dan terus menyentuh apa saja yang dia suka. Rasa frustrasi si ibu sangat jelas, tetapi dia tidak merencanakan aksi pendisiplinan yang konsisten untuk si anak. Oleh sebab itulah hanya sedikit yang dia dapat lakukan. Si anak pada kenyataannya membuat peraturan dan mengontrol hampir di semua situasi. Saya sudah melihat anak-anak berlaku tak pantas di dalam kebaktian, dan saya memperhatikan bagaimana sang ibu mematuhi dengan tepat apa yang didiktekan oleh sang anak kepadanya. Sebagai contoh, si anak bosan dan belum dilatih untuk duduk tenang sepanjang khotbah berlangsung, dan menangis sampai si ibu membawanya keluar supaya dia dapat “bermain.” Setiap minggu selalu sama dan si anak tahu bahwa dia tidak perlu tinggal dan duduk dengan tenang sepanjang kelas Alkitab atau kebaktian. Dia tahu bahwa dia dapat berlaku tidak pantas dan sang ibu akan memberi upah kepadanya dengan cara membawanya keluar gedung dan sebenarnya itulah yang dia inginkan. Dengan cara itu, sang anak tidak mengembangkan disiplin diri, penguasaan diri atau bertindak dengan penuh tanggung-jawab, sebab orang-tua tidak menuntut dia agar bertindak dengan kelakuan yang benar.

Pertanyaan: Apakah ibu dari anak tadi berbakti kepada Allah dengan semestinya ketika anak-anaknya berlaku tidak pantas seperti itu? Dapatkah dia berfokus kepada kebaktian itu? Kapankah dalam kehidupan anak si ibu akan dapat berbakti kepada Allah dengan penuh perhatian kepada Allah? Peranan apakah yang dapat dimainkan oleh si ayah dalam mendisiplin anak-anak dalam kebaktian? Kapankah dalam kehidupan sang anak akan diajarkan untuk menghormati wewenang dari orang-tuanya?

Seorang ibu mempunyai pengaruh terbesar dalam kehidupan seorang anak. Jika anak-anak tidak belajar untuk menjadi manusia yang bertanggung-jawab di usia dini dari orang-tua mereka, kapankah mereka mempelajarinya dan dari siapa?

Disiplin, menurut James Dobson, dalam bukunya The New, Dare To Disiplin hal. 6 menyatakan, “Disiplin tidaklah terbatas pada konteks konfrontasi ..... anak-anak juga perlu diajar disiplin diri dan tingkah laku yang bertanggung-jawab. Mereka memerlukan bimbingan dalam mempelajari bagaimana menghadapi tantangan dan kewajiban dalam hidup ini. Mereka perlu belajar seni menguasai diri. Mereka harus diperlengkapi dengan kekuatan pribadi yang dibutuhkan oleh sekolah mereka, teman sebaya, dan nanti tanggung-jawab orang dewasa.” Dr Dobson lebih jauh mengatakan, “Ada beberapa orang yang percaya bahwa karakteristik yang baru disebutkan tadi tidak dapat diajarkan - bahwa yang terbaik yang kita dapat lakukan adalah mengirim anak-anak turun ke jalan yang paling kurang perlawanan, memindahkan permasalahan mereka dan melaksanakan tanggung-jawab mereka untuk mereka di kehidupan awal mereka.” Idenya adalah, bahwa banyak orang-tua membiarkan alam dan masyarakat untuk menuntun sebagian besar kehidupan seorang anak (inilah yang dilakukan masyarakat Romawi berabad-abad yang lalu).

Mengajarkan prinsip-prinsip kebenaran dan tanggung-jawab kepada anak-anak memerlukan pengetahuan, kesabaran, tekad dan disiplin diri dari orang-tua. Disini ada sebuah contoh apa yang tidak boleh dilakukan. Pernahkah Anda melihat seorang anak usia dua, tiga atau empat tahun atau mungkin lebih tua, disuapi makanan oleh orang dewasa (orang-tua atau nenek) di sebuah restoran? Si anak duduk dan hanya membuka mulutnya sementara seseorang menyuapinya. Kadang-kadang si anak tidak duduk, tetapi berlari di sekeliling, dan si orang-tua harus mengejarnya dengan semangkuk makanan dan sebuah sendok, berharap agar si anak sedikit memperlambat larinya agar dapat menyuapkan makanan ke mulutnya. Anak itu tidak diajar bertanggung-jawab bahkan untuk memberi makan dirinya sendiri. Orang-tua tidak mempertimbangkan betapa pentingnya bagi sang anak untuk belajar tugas-tugas sederhana ini sedini mungkin untuk memulai perkembangan. Anak-anak akan lebih tertolong selama hidup mereka ketika diwajibkan untuk mengambil tanggung-jawab pribadi tertentu dalam setiap tingkatan pertumbuhan mereka. Seorang anak yang belajar untuk makan sendiri mungkin adalah tugas pertama dalam hidup yang akan menolong si anak untuk memulai mengembangkan ketrampilan motorik dan penguasaan diri. Orang-tua perlu memberi anak-anak mereka kesempatan ini dan mereka perlu kesabaran dalam pelatihan mereka.

Toleransi dan selalu mengizinkan bukanlah cara untuk membesarkan anak. Mereka memerlukan batasan-batasan khusus dan instruksi yang tegas tentang bagaimana untuk bertindak dalam setiap situasi demi tingkah laku yang baik, keamanan mereka, dan pengertian mereka bahwa mereka dikasihi. Ketika orang-tua mengizinkan anak-anak mereka untuk “berbuat sesukanya”, mereka kehilangan kontrol atas mereka dan anak-anak merasa kurang disayangi. Orang-tua yang selalu mengizinkan tidak dapat berhasil menghadapi anak-anak yang pemberontak dan suka menentang.

Disiplin selalu berhasil jika dikerjakan dengan konsisten. Orang-tua akan sangat menolong jika mereka mengkomunikasikan instruksi-instruksi dengan kasih, sabar dan konsisten dan menuntut ketaatan anak-anak. Tolong perhatikan, saya mengatakan, “secara konsisten menuntut ketaatan mereka.” Itu kembali lagi kepada ilustrasi yang saya gunakan di awal tulisan ini tentang ibu dan anaknya yang menyentuh apa saja di toko. Ketika seorang anak secara konsisten dihargai ketika dia berbuat baik, menerima pujian yang positif dan secara konsisten dihukum kepada tingkatan tertentu ketika dia nakal, maka dia akan bertingkah laku yang pantas dalam setiap situasi. Hukuman (hukuman badan) tidak harus sebuah pukulan setiap kali Anda harus mengoreksi seorang anak. Adalah mungkin untuk melaksanakan disiplin (hukuman badan) tanpa menyentuh si anak. Adakalanya ketika seorang anak perlu ditampar, tetapi dia dapat dicabut dari apa yang dia sukai. Beberapa contoh mungkin seperti si anak dapat disuruh berdiri di sudut kamar selama lima menit atau duduk diam di sebuah kursi untuk beberapa menit atau harus tinggal di kamar sementara teman-teman sebayanya bermain di luar, atau harus membersihkan piring bekas makan di dapur. Saya ingat, ketika saya di kelas 3 SD. saya tidak mentaati guru saya dan saya berbicara padahal saya disuruh diam. Sebagai hukumannya saya harus tinggal setelah selesai jam sekolah dan disuruh menulis sebuah kalimat di papan tulis 100 kali. Kalimat yang harus saya tulis adalah “Saya tidak akan berbicara di dalam kelas tanpa izin.” Saya tidak diizinkan pulang sampai saya menyelesaikan tugas itu. Peristiwa ini mengajarkan kepada saya bahwa guru saya serius tentang wewenangnya di kelas. Tetapi, jika seorang anak kadang-kadang tidak dihukum jika tidak taat, dan pada saat yang lain dihukum, dia akan bingung dengan ketidak-konsistenan disiplin, dan dia akan mempunyai kecenderungan untuk berbuat kenakalan. Tolong tanamkan dalam pikiran Anda bahwa disiplin dengan cara hukuman tidak menghasilkan seperti yang diinginkan berdasarkan atas kerasnya hukuman. Hukuman yang keras bukanlah kunci kepada disiplin yang baik, tetapi disiplin jenis apapun akan berhasil manakala dijalankan dengan konsisten. Jika setiap kali seorang anak berpikir tentang berbuat sesuatu yang nakal, dan dia tahu akan menghadapi hukuman atas tindakannya itu, maka si anak akan berpikir dengan hati-hati sebelum berbuat nakal. Hal yang sama juga benar untuk penekanan yang positif dari kebaikan. Ini juga harus konsisten. Setiap kali seorang anak melakukan sesuatu yang baik, dan dia selalu dipuji atas perbuatannya itu, dia akan konsisten mencari untuk melakukan yang baik. Ini tidak berarti bahwa anak-anak yang didisiplin dengan baik tidak akan nakal, tetapi anak-anak yang didisiplin dengan baik dapat dikontrol ketika mereka nakal. Itu adalah kebalikan dari anak yang tidak didisiplin.

Anak-anak didorong ketika mereka melakukan hal-hal yang benar, dan mereka mengembangkan kepercayaan diri yang diperlukan untuk berfungsi dengan sukses sebagai sumbangan bagi anggota masyarakat, tetapi orang dewasa yang rendah kepercayaan dirinya dapat menelusuri perasaan tersebut kepada masa kanak-kanak mereka. Orang dewasa yang rendah kepercayaan dirinya kurang mempunyai keyakinan bahwa dia menyumbang sesuatu kepada masyarakat. Dia merasa tidak dapat berbuat sesuatu yang benar dan seringkali sikap ini adalah hasil langsung dari tidak adanya dorongan yang benar dan disiplin sebagai seorang anak.

Ingat, ketika kita meluangkan waktu bersama anak-anak kita dan mempunyai interaksi yang konsisten dengan mereka, mereka akan mendapatkan keamanan dan penghiburan karena mereka mengetahui bahwa kita mengasihi mereka.

Orang-tua, Apakah Anda Yang Memegang Kendali?

Kita harus mendisiplin anak-anak kita dengan positif dan negatif dan selalu konsisten dengan disiplin kita. Saya telah melihat para orang-tua di Indonesia menghadapi anak-anak mereka ketika mereka nakal dan hanya, hanya sedikit saja, menurut pendapat saya, dimana orang-tua mengendalikan situasi ketika anak-anak mulai bertindak nakal. Anak-anak yang kebanyakan mengendalikan orang-tua mereka. Adalah pengalaman saya bahwa satu kali seorang anak menyadari bahwa dia tidak diizinkan untuk memiliki sesuatu atau melakukan hal-hal tertentu saat itulah dia mengambil tindakan dan mulai mengendalikan situasi.

Saya telah seringkali menyaksikan seorang anak menentang orang-tua dan melakukan dengan tepat hal-hal yang dilarang, tetapi dia hanya menerima sedikit disiplin atau tidak sama sekali atas ketidak-taatannya. Seringkali orang-tua akan berteriak kepada anak tadi agar dapat mengomelinya, tetapi ini bukanlah disiplin yang efektif, mengapa? Sebab anak tahu bahwa Anda tidak akan bertindak lebih jauh dengan disiplin Anda. Apa yang dia harus perbuat adalah menunggu sampai Anda selesai berteriak kepadanya dan dia akan kembali lagi menjadi nakal. Kelihatannya para orang-tua tidak mengerti hal ini. Sepertinya orang-tua telah menyerah dalam hal disiplin. Itu sepertinya orang-tua tidak serius mengatakan, “tidak.” Orang-tua kadang-kadang bertindak sepertinya jika mereka menuntut bahwa anak mereka tidak melakukan sesuatu, dan lalu jika mereka mendisiplin anak itu atas ketidak-taatannya, si anak akan mengembangkan suatu kepribadian yang rusak, tetapi yang benar adalah sebaliknya. Dimana tidak ada disiplin seorang anak akan lebih besar kemungkinan untuk mengembangkan suatu kepribadian yang rusak.

Pertimbangkan contoh ini dimana anak-anak mengendalikan orang-tua mereka. Ketika seorang anak yang tidak berdisiplin mendengar orang-tuanya memerintahkan “tidak” terhadap sesuatu yang dia inginkan, dia segera menolak jawaban “tidak” mereka dan mulai merengek kepada orang-tuanya, sebab dia tidak diajar bahwa perkataan orang-tua adalah perkataan final. Pernahkah itu terjadi pada Anda? Sekarang mungkin menolak untuk beberapa saat dengan mengatakan “tidak” tetapi itu tidak lama sebelum anak tadi mulai berteriak, menangis, menunjuk dan berteriak dengan keras meminta apa yang tidak diperbolehkan tadi sampai orang-tuanya malu atau mereka dibuat merasa bersalah dengan tidak menuruti si anak, dan (ini bagian yang menyedihkan) mereka menyerah kepada keinginan si anak nakal tadi. Orang-tua memberi upah kepada anak “yang berlaku tidak pantas” tadi dan bukannya menghukumnya. Dalam contoh di atas, anaklah yang mengendalikan situasi dan bukan orang-tuanya. Anak yang pemberontak mengetahui bagaimana untuk memanipulasi orang-tuanya dan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Ini sangat menyedihkan, sebab anak-anak dalam situasi ini tidak menerima latihan yang efektif, dan mereka tidak mengembangkan sikap menghormati wewenang atau penguasaan diri. Nampaknya orang-tua yang membesarkan anak-anak mereka dengan cara seperti ini adalah tidak menyadari kerusakan yang mereka lakukan terhadap anak-anak mereka atau memang mereka tidak peduli. Siapakah yang memegang kendali?

Orang-tua yang cocok dengan contoh di atas; malangnya hanya dapat menguasai kendali atas anak-anaknya dengan terbatas dan hanya melalui ukuran yang kasar dan drastis. Mungkin mereka akan terpaksa memukul si anak dengan keras supaya dia memikirkan sakit di tubuhnya, dan melupakan apa yang dia minta. Ini bukan cara yang seharusnya ataupun yang diperlukan. Ini bukan cara untuk mengembangkan tingkah laku seorang anak. Pengajaran yang konsisten dan pelatihan adalah jawabannya. Anak-anak harus belajar bahwa “tidak” berarti “tidak.” Tetapi mengontrol seorang anak dengan tindakan kasar tidaklah baik bagi mereka. Ada cara lain untuk memperbaiki anak-anak dari- pada bersikap brutal terhadap mereka. Kita telah menyebutkan beberapa cara untuk menghukum anak-anak tanpa harus memukul mereka, tetapi sebuah tamparan tidaklah selalu salah. Hukuman yang brutal bukanlah cara terbaik. Kunci kepada kelakuan yang baik secara konsisten dari anak Anda adalah terletak pada disiplin yang instruktif dan konsisten.

Saya teringat kepada suatu pengalaman kami beberapa tahun yang lalu. Waktu kami pergi piknik dekat pantai. Setelah kami bermain di air untuk beberapa saat, empat anak kecil mau makan, tetapi orang-tua mereka mau terus memancing, maka isteri saya dan saya mengambil mereka dan mulai memberi mereka makan. Saya mengatakan kepada mereka bahwa jika mereka mau kue-kue, mereka harus menghabiskan dulu semua makanan yang diberikan kepada mereka. Suatu permintaan yang masuk akal, sebab mereka tidak diberi makanan terlalu banyak untuk dimakan, tetapi dengan permintaan ini menaruh mereka dalam situasi dimana mereka perlu melaksanakan disiplin pribadi dan penguasaan diri dengan cara memakan dulu makanan mereka sebelum memakan kue-kue sebagai pencuci mulut. Oleh karena orang-tua mereka tidak hadir, maka saya dan isteri mewakili wewenang. Salah seorang anak gadis kecil telah makan habis makanannnya dan meminta sepotong kue. Kami memuji dia di hadapan anak-anak lainnya, karena menghabiskan makanannya. Kemudian, seperti yang saya telah janjikan, saya memberinya sepotong kue. Tetapi, tanpa sengaja, dia menjatuhkan kue itu pada tempat yang kotor dan saya harus membuangnya ke dalam tempat sampah. Dia marah dan mulai menangis. Saya berkata kepadanya supaya tidak khawatir dan saya tahu itu adalah kejadian yang tidak disengaja, maka dia dapat mendapatkan yang lain. Tetapi dia sudah terlalu emosional dalam kemarahan karena telah menjatuhkan kue pertama tadi, maka ketika saya memberinya kue yang kedua, dan dia masih dalam keadaan marah, dia langsung membuangnya ke tanah. Saya berkata kepadanya bahwa dia salah marah karena hal ini, sebab itu terjadi tanpa disengaja. Saya gunakan kesempatan ini untuk mengajar. Saya berkata kepadanya dengan suara lembut tetapi tegas dan langsung bahwa jika kamu berbohong atau mencuri atau melanggar firman Allah, maka kamu dapat marah tentang hal itu, dan melawannya, tetapi hanya dengan menjatuhkan sepoting kue secara tidak sengaja bukan saatnya untuk marah. Tetapi dia terus marah. Lalu saya berkata kepadanya bahwa dia tidak dapat memperoleh kue yang lain sampai malam nanti setelah makan malam, tetapi hanya jika dia memakan habis makanannya pada saat itu (saya telah melihat para orang-tua tertawa dan berpikir hal itu lucu ketika anak mereka marah karena alasan yang salah). Anak-anak harus diajar kapan menunjukkan emosi-emosi yang berlainan dan kapan tidak. Disiplin akan melakukan hal itu. Tetapi inilah akhir cerita saya. Ketika ayah dan ibu anak gadis kecil ini kembali dari memancing, mereka melihat bahwa anak mereka tidak bahagia. Karena ketika dia melihat mereka datang, meskipun dia sudah berhenti menangis, dan diam, dan mulai bermain dengan anak-anak lainnya, tetapi dia tidak melupakan tentang kue itu. Dia tahu dia tidak dapat mengalahkan otoritas saya selama kedua orang-tuanya tidak ada, tetapi begitu orang-tuanya tiba dia mulai beraksi, karena dia tahu bagaimana menguasai orang-tuanya supaya mendapatkan kuenya. Dia tahu tindakannya tidak akan mempengaruhi saya, tetapi dia dapat memanfaatkan orang-tuanya dalam situasi ini, karena dia telah menguasai orang-tuanya sejak sebelum dia dapat berjalan. Inilah apa yang terjadi. Ketika orang-tuanya hendak makan, saya menjelaskan kepada mereka bagaimana dia telah beraksi dan apa hukuman baginya karena beraksi seperti itu. Tetapi, pada saat saya selesai mengatakan apa yang telah terjadi, anak perempuan mereka itu telah menarik mereka di bawah kuasanya melalui tindakannya menangis dan meminta sepotong kue. Mereka merasa kasihan padanya, lalu mereka langsung memberinya sepotong kue. Dia menang! Menurut Anda, siapakah yang dipuji dalam situasi ini? Apakah Anda berpikir anak perempuan itu belajar sesuatu yang bermanfaat dari pelajaran ini? Apakah yang dipelajarinya dari pengalaman ini? Dimana kekonsistenan dalam disiplin? Saya mengatakan kepadanya satu hal, dan kedua orang-tuanya mengatakan kepadanya hal lain. Mereka seharusnya mendukung tindakan disiplin saya tentang kue itu supaya mengajarkan kepadanya suatu pelajaran mengenai peristiwa tidak disengaja dan emosi yang salah tadi.

Tolong perhatikan point dan pertanyaan-pertanyaan berikut ini. Jika Anda mengatakan kepada anak Anda bahwa dia tidak boleh melakukan sesuatu dan Anda juga mengatakan kepadanya jika dia melakukan hal itu, maka dia akan dihukum dan kemudian dia tidak mentaati otoritas Anda dan dia melakukan apa yang tidak diperintahkan, tetapi kemudian Anda tidak menghukum anak Anda, disini ada beberapa pertanyaan: Karena Anda tidak melakukan apa yang Anda katakan, apakah Anda berpikir bahwa kata-kata Anda kepada anak Anda, “Anda akan menghukum dia” adalah sebuah kebohongan? Jika ini bukan bohong, mengapa ini bukan bohong? Apakah Anda pernah mengatakan kepada anak-anak Anda akan melakukan sesuatu, tetapi kemudian Anda tidak memenuhi apa yang Anda katakan? Apakah itu bohong? Apakah yang Anda ajarkan kepada anak-anak Anda ketika Anda mengatakan satu hal dan melakukan hal lain? Apakah ini sebuah contoh disiplin yang baik? Terhadap anak-anak Anda dan dalam situasi ini, Anda menjadi seorang yang tidak memiliki penguasaan diri, disiplin diri, atau pendirian tetap. Anda mengatakan satu hal tetapi melakukan hal lain.

Allah mengatakan kepada para orang-tua, “Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar (discipline - bahasa Inggris) dia pada waktunya” (Amsal 13:24). Saya heran berapa banyak orang-tua sekarang ini yang menolak prinsip kebenaran ini? Anda dapat membacanya. Anda dapat mempelajarinya, tetapi apa yang akan membuat Anda menerima prinsip ini? Disiplin yang benar menolong anak-anak untuk belajar dan mengerti arti kehidupan. Allah tahu jika orang-tua tidak mendisiplin anak-anak mereka, maka anak-anak tidak akan menghormati otoritas. Oleh karena itu, jika mereka tidak mau menghormati otoritas “mama” dan “papa” yang mereka bisa lihat, tolong jawab saya, lalu bagaimana mereka dapat menghormati otoritas Allah, yang mereka bisa lihat hanya melalui firman tertulisNya? Jika tidak ada disiplin di dalam kehidupan mereka, apakah Anda berpikir bahwa suatu hari mereka akan benar-benar berpikir untuk diri mereka bahwa mereka harus menerima tuntutan-tuntutan firman Allah? Disiplin apakah positif dan atau negatif harus selalu konsisten. Jangan pernah dan jangan pernah mengatakan sesuatu kepada seorang anak dan kemudian tidak bertindak atas hal itu. Jika Anda menyadari bahwa Anda mengatakan sesuatu yang salah, maka minta maaflah kepada anak Anda, tetapi jangan pernah tidak melakukan apa yang Anda katakan. Kata-kata kosong tidak pernah menghasilkan yang baik tetapi hanya memalukan. Berhati-hatilah dengan kata-kata dan tindakan-tindakan Anda sementara Anda melatih anak-anak Anda. Anda harus konsisten!

Para Ayah Mempunyai Tanggung-jawab Melatih Anak-anak Mereka

Rasul Paulus menulis, “Hai anak-anak, taatilah orang-tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu - ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Efesus 6:1-4). Menurut Anda, apa yang dikatakan ayat-ayat ini kepada ayah di dunia ini, dan khususnya kepada para ayah Kristen yang menganggap Perjanjian Baru sebagai hukum kehidupan? Ayah-ayah Kristen, apakah Anda mempraktekkan ayat 4 supaya anak-anak Anda mempraktekkan ayat 1-3? Sudahkah Anda memulai mengajar anak-anak Anda tentang siapa Allah dan bagaimana mereka dapat hidup untuk Kristus? Apakah anak-anak Anda tahu perbedaan antara Allah dalam Alkitab dan konsep palsu denominasi tentang Allah? Inilah pertanyaan-pertanyaan menarik untuk melihat bagaimana kebanyakan para ayah dan ibu mengajar, melatih dan mendisiplin anak-anak mereka. Berapa seringkah Anda membacakan dan mengajarkan Perjanjian Baru kepada mereka setiap hari atau minggu? Ada prinsip yang dinyatakan dalam Perjanjian Lama yang benar juga bagi kita sekarang ini. Prinsip ini diberikan oleh Tuhan kepada bani Israel dan tujuan kebenaran meyakinkan bahwa generasi berikutnya akan hidup dengan setia di hadapan Allah. Allah tahu bahwa melatih anak-anak perlu dimulai sejak dini, dan pendidikan rohani anak harus dilakukan oleh para orang-tua dalam keluarga. Inilah apa yang difirmankan Allah kepada orang Israel untuk dilakukan terhadap anak-anak mereka. Musa menulis, “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun” (Ulangan 6:6-7). Inilah formula kesetiaan untuk generasi berikutnya.

Pernahkah Anda memikirkan masa depan dan merenungkan bagaimana jadinya anak-anak Anda ketika mereka mencapai usia dewasa? Apakah Anda peduli bahwa mereka mungkin tidak diperlengkapi untuk menghadapi tantangan-tantangan baru yang muncul dalam dunia ini dari banyak sisi yang berbeda? Apakah Anda berpikir tentang gereja dan apakah gereja akan kuat atau tidak dua puluh tahun dari sekarang? Akankah gereja besok sepenuhnya berkembang dan memiliki bentuk kepemimpinan yang benar? Pertanyaan-pertanyaan ini, dan banyak lagi pertanyaan semacamnya yang dapat dijawab tergantung bagaimana Anda sebagai para orang-tua mengajar, melatih, dan mendisiplin anak-anak Anda sekarang ini. Anak-anak kita sekarang ini adalah gereja untuk hari esok. Akan menjadi apa gereja besok tergantung pada siapa anak-anak Anda sekarang, dan bagaimana Anda membangun mereka secara rohani.

Kapankah seharusnya Anda mulai mengajar, melatih,
dan mendisplin Anak-anak?


Anak-anak seharusnya mulai menerima instruksi (ajaran) segera saat mereka sudah mampu mengerti suatu hal positif dan negatif. Pada usia satu bulan, bayi tahu membedakan beragam suara dan beberapa perkataan dasar. Mengerti hal ini penting, karena waktu untuk membentuk karakter seorang anak terbatas 6 atau 8 tahun pertama, maka para orang-tua perlu untuk memulainya dengan segera. Telah ditemukan bahwa karakter dasar seseorang berkembang dari apa yang telah diajarkan padanya dan mengalami hidup sebagai seorang “anak yang masih muda”, bukan anak yang “sudah tua.” Salomo menulis, “ Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan: "Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!" (Pengkhotbah 12:1) . Dalam ayat ini, kata: “sebelum tiba hari-hari yang malang” menyatakan ini adalah waktu anak-anak yang masih suci. Sebelum mereka mencapai waktu ketika pencobaan-pencobaan dan godaan-godaan menjadi sebuah masalah yang sesungguhnya. Oleh karena itu, para orang-tua, Anda hanya mempunyai beberapa tahun yang singkat untuk membentuk karakter anak Anda, dan kemampuan-kemampuan rohaninya. Inilah sebabnya mengapa sangat penting untuk memulai dengan segera setelah kelahiran seorang anak dan terus dengan konsisten hingga anak itu meninggalkan rumah dan memulai hidupnya sendiri. Dia akan menyerap setiap kata dan tindakan. Berhati-hatilah apa yang Anda katakan dan lakukan ketika ada anak-anak. Anda sedang menciptakan kehidupan sepanjang umur, dan pengaruh-pengaruh yang berpengaruh itu positif dan negatif. Awasilah kehidupan anak-anak Anda sementara Anda mempunyai kesempatan dan mereka akan menjadi suatu berkat kepada Anda dan Tuhan dalam kehidupan dewasa mereka.

Mengenai prinsip kebenaran ini yaitu pentingnya memulai sejak dini mengajar, melatih, dan mendisiplin anak-anak Anda, saya ingin memberi Anda dua contoh dalam Alkitab. Jika Anda telah meluangkan waktu membaca pelajaran ini, sekarang saya minta Anda membaca 1 Samuel 1:1-28; 2:18-20, 26. Ini adalah cerita Hana dan Samuel. Hana hanya membesarkan Samuel sampai usia kira-kira 4 atau 5 tahun. Kita mendasarkan perkiraan usia ini sesuai dengan teks 1 Samuel 1:24, yang mengatakan bahwa Hana akan menyerahkan Samuel untuk pelayanan Tuhan di Tabernakel (rumah Tuhan) begitu dia menyapih Samuel. Hana telah menggenapinya. Menurut para sejarawan kuno, dikatakan bahwa anak-anak telah diajar untuk bergantung sepenuhnya pada makanan dari-pada susu ibu ketika mereka berusia 4 atau 5 tahun. Contoh Samuel ini menarik perhatian untuk melihat apa yang telah terjadi dalam kehidupan Samuel sebelum Hana menyerahkan dia kepada imam Eli supaya Samuel melayani Tuhan di Tabernakel.

Pikirkanlah ini. Elkana dan Hana harus mengajar, melatih, dan mendisiplin Samuel untuk mempersiapkan dia hidup tanpa kedua orang-tuanya di Tabernakel. Dia harus belajar patuh dan banyak tanggung-jawab lainnya, dan bertanggung-jawab untuk menerima perintah dari imam Eli, hingga dirinya sendiri menjadi imam Allah beberapa tahun kemudian. Tolong Anda perhatikan hal ini sejenak. Samuel yang masih muda diajarkan tujuannya dalam hidup ini, dan tujuan itu adalah untuk menggenapi nazar ibunya untuk melayani Allah sepanjang hidupnya. Dia diajarkan tentang Allah dan pentingnya kehidupannya di hadapan Allah pada usianya yang masih belia ini. Hal ini telah dilakukan dengan sukses sehingga tujuan ibunya menjadi tujuan hidup Samuel. Dapatkah Anda bayangkan seorang anak Indonesia, berumur 4 atau 5 tahun, dengan tingkat pengetahuan dan disiplin pribadi baik dalam kehidupan masa mudanya, mampu meninggalkan orang-tuanya dan melayani Tuhan dan melakukannya terus dengan setia? Setiap kesempatan menyibukkan dalam kehidupan dini Samuel bersama orang-tuanya tentu saja penuh dengan pelajaran, latihan, dan disiplin.

Contoh lain yang disebutkan adalah Timotius, anak Paulus dalam Injil Kristus, yang adalah seorang muda penuh dengan rasa tanggung-jawab, karena dia telah dilatih dari masa mudanya untuk mengenal Kitab suci, dan dia bertanggung-jawab untuk hidup bagi Allah dan dengan teman sekerjanya, Timotius ketika dia menulis: “Tetapi hendaklah engkau tetap berpegang pada kebenaran yang telah engkau terima dan engkau yakini, dengan selalu mengingat orang yang telah mengajarkannya kepadamu. Ingatlah juga bahwa dari kecil engkau sudah mengenal Kitab Suci yang dapat memberi hikmat kepadamu dan menuntun engkau kepada keselamatan oleh iman kepada Kristus Yesus” (2 Timotius 3:14-15). Paulus mengatakan bahwa kehidupan saleh Timotius sebagai seorang muda didapat dari apa yang dia pelajari dari waktu dia masih kanak-kanak.

Kesimpulan:

Disiplin, ajar, dan latihlah anak-anak Anda. Mereka pantas diberi setiap kesempatan untuk hidup sempurna dan bertanggung-jawab sebagai orang Kristen, dan untuk melakukan hal itu, Anda sebagai para orang-tua harus rajin dalam pelayanan Anda kepada Allah, dan setia dalam tugas Anda kepada anak-anak Anda.

Pertanyaan-pertanyaan Diskusi:

1. Menurut Anda, mengapa masa depan setiap masyarakat tergantung pada bagaimana anak-anak dibesarkan dalam lingkup keluarga?

2. Mengapa mengajar dan melatih anak-anak kita termasuk disiplin yang benar?

3. Mengapa toleransi dari-pada disiplin merusak perkembangan seorang anak?

4. Menurut Anda, jika anak-anak tidak belajar bertangung-jawab, siapakah yang akan mengajar mereka?

5. Mengapa penting mengajar anak-anak untuk makan sendiri pada usia sedini mungkin?

6. Menurut Anda, mengapa para orang-tua harus mengamati segala sesuatu yang dilakukan oleh anak mereka?

7. Apakah bentuk hukuman yang Anda pikir dapat diberikan kepada anak Anda tanpa memukul (bagian pantat) nya?

8. Menurut Anda, apakah kunci disiplin yang baik?

9. Menurut Anda apakah lebih baik anak-anak didorong untuk mengikuti firman Allah padahal mereka tidak didisiplin dengan baik di rumah? Mengapa?

10. Buatlah daftar hal-hal dalam kehidupan seorang anak baik secara fisik maupun secara emosional, dimana disiplin akan menolong anak itu berkembang.

11. Kapankah para orang-tua harus memulai mengajar dan melatih anak-anak mereka? Mengapa?

12. Berikan dua contoh anak di dalam Alkitab yang menerima pendidikan yang baik tentang Allah dan firmanNya ketika mereka masih anak-anak. Bagaimanakah ketika diri mereka menolong mereka dalam kehidupan di kemudian hari?